• Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Saturday, July 26, 2025
  • Login
Portallnews.id
Advertisement
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi
No Result
View All Result
Portallnews.id
No Result
View All Result
Home Refleksi

Sekolah “Abu-Abu” : Negeri Bukan, Swasta Tidak

(Refleksi atas Sekolah yang Didirikan oleh Pejabat Aktif di Luar Sistem Resmi Negara)

by portall news
July 24, 2025
in Refleksi
Jalur Langit

Prof. Dr. Sudjarwo, M.S.

15.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung

PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Akhir-akhir ini marak pejabat aktif yang sedang berkuasa, ingin meninggalkan legacy dengan membuat sekolah, dari tingkat pendidikan usia dini sampai sekolah lanjutan atas, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Tentu saja alasannya beragam. Hal ini menimbulkan sejuta tanya, sebenarnya sekolah itu swasta atau negeri. Untuk itu, sebaiknya kita pahamkan secara terurai persoalan ini, dengan harapan masyarakat menjadi paham, dan bukan mencari kesalahan.

Di Indonesia, negara memiliki dua jalur utama dalam pendidikan formal, yaitu sekolah negeri yang didirikan dan dibiayai pemerintah, dan sekolah swasta yang dijalankan oleh yayasan atau organisasi independen. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya “jalan ketiga”, yakni sekolah yang beroperasi di luar dua jalur tersebut, didirikan oleh pejabat publik aktif, seperti walikota atau bupati, tetapi tidak memiliki status hukum yang jelas.

Baca Juga

Membantah Tidak Bisa, Membuktikan Tidak Bisa (Antara Kekosongan Argumen dan Ketidakpastian Kebenaran)

Memahami Kedalaman Pembelajaran untuk Pendidikan yang Lebih Baik

“Candikolo” (Saat Senja Mejadi Cermin)

Fenomena ini menciptakan institusi pendidikan yang disebut oleh banyak pengamat sebagai “sekolah abu-abu”; bukan sekolah negeri, bukan pula swasta murni. Dalam kasus ini, sekolah tersebut kerap didirikan oleh walikota atau pejabat daerah menggunakan kekuasaan dan fasilitas negara, tetapi secara administratif tidak tercatat dalam sistem nasional pendidikan.

Pendidikan adalah sektor strategis yang sangat menarik secara politis. Banyak kepala daerah ingin meninggalkan legacy berupa pembangunan sekolah-sekolah baru. Di satu sisi, semangat ini perlu diapresiasi: mereka menunjukkan komitmen pada pembangunan sumber daya manusia. Namun, persoalan muncul ketika pendirian sekolah dilakukan tanpa melalui prosedur formal, atau bahkan hanya sebagai proyek politik populis.

Beberapa contoh fenomena ini di antaranya: sekolah didirikan oleh walikota melalui perusahaan daerah, tetapi tidak di bawah dinas pendidikan. Pengelolaan dilakukan oleh ASN yang diperbantukan, gajinya tidak jelas berasal dari APBD atau BOS. Sekolah memakai lahan pemerintah, gedungnya dibangun dari APBD, tetapi tidak ada Perda yang mengesahkan status kelembagaannya. Akibatnya, sekolah tersebut hidup dalam status abu-abu, seolah-olah negeri karena fasilitasnya dari negara, tetapi tidak ada payung hukum yang jelas. Sementara itu, orang tua dan siswa mengira sekolah tersebut resmi dan setara dengan sekolah negeri, padahal tidak tercatat dalam sistem nasional pendidikan (Dapodik atau EMIS).

Karakteristik sekolah abu-abu yang didirikan pejabat; didirikan atas inisiatif pribadi pejabat publik (walikota/bupati), biasanya tanpa rekomendasi dinas pendidikan. Dengan ciri lain: menggunakan fasilitas negara, seperti gedung pemerintah, guru honorer daerah, atau dana CSR BUMD. Tidak memiliki legalitas formal sebagai sekolah negeri (tidak tercantum dalam SK Kemendikbud). Tidak memiliki izin operasional sebagai sekolah swasta (tidak didirikan oleh yayasan resmi). Kerap menggunakan nama atau branding tertentu, bercirikan lokal untuk mendongkrak popularitas politik.

Pendirian sekolah semacam ini sering kali bukan murni karena kebutuhan pendidikan, melainkan bagian dari strategi politik pencitraan. Dalam konteks pemilihan umum atau pilkada, membuka sekolah “gratis” atau “unggulan” menjadi alat yang sangat efektif untuk menarik simpati. Bentuk simbolik lain juga kerap muncul: nama sekolah mencantumkan nama pejabat, promosi di media sosial pemerintah lokal menampilkan wajah atau logo pemimpin daerah. Guru dan siswa “dipaksa” mendukung program politik tertentu. Ini adalah bentuk politisasi pendidikan yang berbahaya, karena pendidikan seharusnya netral dan tidak digunakan sebagai alat kekuasaan.

Sekolah abu-abu tidak masuk dalam Dapodik (Data Pokok Pendidikan) atau EMIS. Artinya: siswa tidak terdata secara resmi dan tidak bisa mengikuti ujian nasional. Ijazah tidak sah secara hukum. Sekolah tidak bisa mendapat BOS, BOP, atau dana dari Kemdikbud. Guru di sekolah ini seringkali berstatus sukarelawan atau honorer, tetapi tidak masuk dalam formasi guru negeri atau swasta. Mereka digaji dari kas daerah, BUMD, atau bahkan tidak digaji.

Mendirikan sekolah menggunakan dana APBD tanpa Perda atau SK resmi bisa masuk kategori penyalahgunaan anggaran. Penggunaan aset negara untuk entitas tanpa status hukum jelas juga bisa menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Dan, ketika sekolah abu-abu diberi fasilitas mewah karena didukung pejabat, sementara sekolah negeri dan swasta lainnya kesulitan dana, maka ini menciptakan ketidakadilan struktural. Seolah-olah “status istimewa” hanya berlaku bagi sekolah yang dekat dengan kekuasaan.

Dampak jangka panjang diantaranya adalah: siswa yang lulus dari sekolah abu-abu sulit mendaftar ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena ijazahnya tidak sah. Ini merugikan masa depan mereka secara langsung. Selanjutnya, ketika pejabat yang mendirikan sekolah sudah tidak menjabat lagi, banyak sekolah abu-abu terbengkalai karena tidak ada payung hukum yang menjaga kelangsungannya. Jika ini dibiarkan, maka akan menciptakan preseden: setiap pejabat bisa membangun sekolah atas nama pribadi, tanpa regulasi. Ini membahayakan integritas sistem pendidikan nasional.

Solusinya adalah dengan menertibkan tanpa mematikan. Caranya : Pertama, audit nasional sekolah nonformal oleh daerah. Setiap pemda wajib mendata seluruh sekolah yang berdiri di wilayahnya, termasuk yang didirikan oleh pejabat aktif. Audit ini harus transparan, melibatkan masyarakat sipil dan lembaga independen.

Kedua, legalisasi melalui jalur khusus. Dengan diberi pilihan: jika ingin menjadi sekolah negeri, harus melalui proses pengesahan dinas pendidikan. Jika ingin swasta, harus membentuk yayasan resmi.

Ketiga, melarang pendirian sekolah baru oleh pejabat aktif. Caranya, perlu adanya regulasi nasional yang melarang pejabat aktif mendirikan sekolah atas nama pribadi atau menggunakan dana publik tanpa dasar hukum yang sah. Ini penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Keempat, pengawasan oleh BPK dan Ombudsman. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Ombudsman harus dilibatkan untuk menelusuri penggunaan dana, status legal, dan keluhan masyarakat terkait sekolah-sekolah abu-abu.

Fenomena “sekolah abu-abu” yang didirikan oleh pejabat aktif, dengan status negeri bukan, swasta pun tidak, adalah cerminan dari persoalan serius dalam tata kelola pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, ia tampak sebagai bentuk inisiatif positif pejabat daerah dalam meningkatkan akses pendidikan. Namun di sisi lain, pendirian sekolah di luar jalur resmi tanpa dasar hukum yang kuat berisiko merusak sistem pendidikan nasional secara keseluruhan.

Pendidikan bukan ladang pencitraan. Ia adalah tanggung jawab negara dan masyarakat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara berkeadilan dan berkesinambungan. Setiap sekolah, sekecil dan seterpencil apa pun, harus berjalan dalam jalur yang benar, bukan di bawah bayang-bayang kekuasaan, bukan di tengah abu-abu yang membingungkan.
Salam Waras (R-2)

 

Previous Post

Senator Ahmad Bastian Kunjungi UTB Lampung, Dukung Penguatan PTS di Daerah

Next Post

KAI Divre IV Tanjungkarang Catat Kinerja Positif, Angkutan Barang dan Penumpang Naik

Next Post
KAI Divre IV Tanjungkarang Catat Kinerja Positif, Angkutan Barang dan Penumpang Naik

KAI Divre IV Tanjungkarang Catat Kinerja Positif, Angkutan Barang dan Penumpang Naik

No Result
View All Result

Recent Posts

  • KAI Divre IV Tanjungkarang Catat Kinerja Positif, Angkutan Barang dan Penumpang Naik
  • Sekolah “Abu-Abu” : Negeri Bukan, Swasta Tidak
  • Senator Ahmad Bastian Kunjungi UTB Lampung, Dukung Penguatan PTS di Daerah
  • KPI Dorong Revisi UU Pemda Demi Perkuat Kelembagaan KPID
  • Membantah Tidak Bisa, Membuktikan Tidak Bisa (Antara Kekosongan Argumen dan Ketidakpastian Kebenaran)

Recent Comments

  • portall news on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
  • Icha on British Propolis Dapat Mengobati Berbagai Penyakit Ini
Portallnews.id

© 2020 Portallnews.id

PORTALLNEWS.ID hadir ke tengah masyarakat memberikan sajian berita yang berkualitas dan berimbang.

  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
  • Hukum & Kriminal
  • E-Magazine
  • Politik
  • Lampung
    • Bandar Lampung
    • Lampung Barat
    • Lampung Selatan
    • Lampung Tengah
    • Lampung Timur
    • Lampung Utara
    • Mesuji
    • Metro
    • Pesawaran
    • Pesisir Barat
    • Pringsewu
    • Tanggamus
    • Tulang Bawang
    • Tulang Bawang Barat
  • Pendidikan
  • Olahraga
    • Kesehatan
  • Ekonomi

© 2020 Portallnews.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist