Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Secara teologi keilmuan, terutama mereka yang beraliran behaviorisme, berkeyakinan bahwa akibat itu terjadi karena sebab. Dan, banyak hal di dunia ini terjadi sebagai akibat dikarena oleh sebab. Bisa jadi sebabnya tunggal, akibatnya jamak. Tidak jarang sebabnya jamak, akibatnya tunggal. Namun tidak menutup kemungkinan bersebab jamak, berakibat jamak. Namun para sufi, terutama yang sealiran dengan Jalal ad- Din Muhammad Rumi tidak sependapat dengan kerangka fikir itu. Karena ternyata banyak akibat yang terjadi bukan karena sebab; bisa jadi karena kodrat.
Banyak sekali peristiwa sosial yang memiliki kalkulasi menyimpang dari skenario, bahkan bisa terjadi berbanding terbalik, bahkan kontradiktif. Berarti ada faktor lain yang dalam dunia ilmu di sebut “Miu”; ikut memberi kontribusi terhadap penyimpangan itu. Anehnya, sekarang faktor ini dicari untuk dijadikan pintu masuk pembenaran dari suatu kesimpulan. Tekniknya bisa bermacam-macam, diantaranya mengubah aturan main secara diam-diam.
Bisa dibayangkan mengubah hutan yang duapuluh hektar di tengah kota yang merupakan paru-paru kota; bisa sekejab menjadi hutan beton; tanpa peduli dengan dampaknya kepada alam sekitar dan anak cucu. Tidak salah jika ada teman budayawan sekaligus teknolog berkomentar ini merupakan kejahatan lingkungan. Dan, ini diamini oleh Guru Besar Ahli Daerah Aliran Sungai, yang juga didukung oleh pendapat Guru Besar Ahli Hukum Lingkungan.
Dialog keilmuan itu akan semakin panjang manakala penanggung “akibat” tidak pernah merasa andil untuk berbuat “sebab”. Thesis serupa ini tampaknya sekarang menjadi semacam pembenaran silogisme berfikir dari banyak pengambil keputusan. Akibatnya keputusan-keputusan yang diambil pada masa lalu, baik secara terang-terangan; apalagi secara diam-diam, berdampak pada mereka yang ada diposisi kemudian. Kondisi seperti ini nyaris ada pada semua wilayah, dari daerah sampai dengan nasional.
Persekongkolan jahat dibangun pada umumnya untuk memuluskan ketimpangan antara akibat dan sebab. Menjadi sangat menarik wilayah moral ini dilakukan manakala ada moment keteledoran baik sengaja maupun tidak sengaja. Sehingga moment terbentuk, eksekusi dilakukan. Untung di dunia ini ada insan pers yang waras, sehingga hal-hal penyimpangan ini bisa diketahui; ambil contoh penggundulan hutan kota menjadi viral saat jurnalis senior mendorong kepermukaan.
Bujuk-rayu untuk menarik pemberitaan karena kegusaran pejabat suatu lembaga perguruan tinggi negeri kedapatan membagi-bagi kue pembangunan, diviralkan oleh Organisasi Jurnalis terkenal di negeri ini. Semua menunjukkan bagaimana rekayasa akibat yang disebabkan oleh tanpa sebab terlebih dahulu.
Penyesatan berfikir seperti ini sangat berbahaya jika bersinggungan dengan wilayah publik karena dapat dipastikan akan menimbulkan kegaduhan. Sekalipun mungkin kegaduhan itu tidak dapat mempengaruhi keputusan. Hanya yang disesalkan tidak ada satupun lembaga perguruan tinggi yang memiliki program studi sebidang dengan persoalan bahkan sampai level doktor, yang peduli.
Tampaknya mereka asyik-masyuk dengan singgasana menara gadingnya, sehingga lupa visi dan misi lembaga yang peduli akan sekitar. Mereka lebih senang membagi-bagi ijazah, mengobral gelar kehormatan, dari pada peduli akan persoalan riil di sekitar. Begitu diingatkan cukup dengan jawaban “tidak ada permintaan” atau “sudah diwakilkan”.
Pemikiran-pemikiran kritis melalui kajian keilmuan yang ditunggu oleh masyarakat, hanya disuarakan oleh individu yang berminat. Sementara lembaganya seolah-olah menjadi lapangan sebak bola tanpa pemain. Jika ada individu yang terkesan kritis, maka lembaga cukup mengatakan “tidak mewakili lembaga”; sebaliknya jika berhasil maka akan muncul rasa kepemilikan “itu tenaga pengajar kami”. Ironisnya lembaga itu milik negeri yang seharusnya berdiri paling depan untuk melindungi negeri dari segala macam kerusakan.
Semoga kesesatan berfikir seperti ini cepat disadari oleh kita semua anak negeri; karena keberpihakan kita kepada negeri bukan hanya untuk hari ini, akan tetapi untuk masa depan yang lebih baik.
Salam Waras. (R-1)
Recent Comments