Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Pagi menjelang siang pada akhir pekan biasanya digunakan untuk “sambang” ke rumah utama sebagai alamat terakhir untuk “kepulangan” nanti; dengan acara bersih-bersih halaman. Kebetulan parit tepi jalan raya yang dekat dengan pohon durian setiap pekan sudah penuh dengan daun kering. Hari itu seperti biasa menyapu kemudian mengangkutnya ke dalam halaman untuk dibakar, sekaligus olahraga ringan untuk usia yang sudah tidak muda lagi. Tidak beberapa lama ada sahabat yang lewat kemudian menepikan kendaraannya untuk berbincang. Sahabat satu ini banyak sekali memiliki informasi dari yang kelas satu sampai kelas paling rendah. Entah apakah hari ini merupakan keberuntungan, beliau menyodorkan satu buku dengan judul “kenangan” dari seorang mantan pejabat penting di daerah ini yang beberapa waktu lalu tersandung kasus pidana khusus. Yang bersangkutan divonis 10 tahun penjara dan dipecat dari pegawai negeri, sampai saat ini yang bersangkutan masih ada dalam penjara. Dengan caranya, beliau menulis dan menerbitkan buku sebagai “pembelaan diri” atas kasusnya.
Semula diskusi yang hanya membicarakan hal-hal yang ringan, gegara buku itu mendadak menjadi berat dan serius. Bagaimana tidak menjadi berat karena sahabat tadi membahasnya permuka, sementara buku itu cukup tebal. Beliau mengkonfirmasi setiap hal yang ada dengan kacamata kejurnalistikan; tentu saja beliau memiliki banyak fakta dan data yang dijadikan acuan rujukan keakuratan keterangan tertulis tadi.
Sebagai contoh pengingkaran akan penerimaan suap dialihkan menjadi sumbangan sukarela, beliau sang jurnalis menyodorkan fakta dan menyebutkan dengan jelas siapa dan berapanya. Kemudian siapa saja yang terlibat disekitar sang pejabat tadi, serta berapa yang diminta oleh orang lingkarnya, kepada siapa, kemudian disetor berapa; semua ada pada beliau. Disinggung dalam buku itu adalah calo, tetapi pada kenyataannya yang bersangkutan justru menagih jika jumlah yang ditentukan tidak diberikan.
Kemudian memamerkan keberhasilan kepemimpinan dalam tempo singkat memiliki jumlah target dari hasil kerja yang selama ini hanya sekian, era kepemimpinannya melonjak seratus persen. Sang jurnalis ini berkata bahwa dari jumlah yang diusulkan itu adalah usulan pada periode sebelumnya; yang semua itu tidak diakui oleh mantan pemimpin ini, apalagi untuk berucap terimakasih kepada pemimpin sebelumnya yang ikut membesarkannya. Masih banyak lagi hal-hal teknis yang tidak mungkin diungkap di sini karena mungkin itu bisa jadi terlalu subyektif. Namun ada hal yang esensial tentang buku ini, ialah seolah pembelaan diri dari suatu kecelakaan saat salah ambil di tikungan.
Setelah Sang Jurnalis berlalu, dan buku itu ditinggal sebagai kenangan; maka secara otomatis kenangan lama semua berkelebat dalam ingatan.Bagaimana sakitnya hati tidak boleh mengajar pada program studi tertentu dengan tidak diketahui alasan jelas apa penyebabnya; sampai-sampai pimpinan tertinggi lembaga itu meminta dengan paksa agar tidak menginjakkan kaki ke lembaga ini, dan itu ditegaskan oleh sang direktur dan sang ketua program saat itu. Itu belum cukup, saat program studi kelas tertinggi di lembaga tempat bekerja yang selama ini jadi target dibuka dan itu bahagian dari kerja-kerja selama ini sekaligus merupakan kebanggaan, dengan pongah menggunakan kekuasaan melarang untuk terlibat mengajar apalagi membimbing. Kalimat “Balas dendam dengan kebaikan……” dalam buku itu ternyata berbanding terbalik dengan fakta yang ada. Karena dalam realitanya bagi mereka “yang dipandang” tidak satu garis dengan Sang Tuan tadi, dengan amat segera untuk dihabisi dengan cara apapun.
Belum lagi porakporandanya satu unit yang menjadi laboratorium pembelajaran, yang selama ini menjadi unggulan (tentu dengan segala macam kekurangannya) menjadi tidak jelas karena pengelolaan yang seharusnya wilayah lembaganya, sekarang diserahkan begitu saja kepada pihak lain yang tidak jelas marwahnya. Akibatnya ranking lembaga itu yang selama ini ada pada papan atas, melorot entah pada papan mana. Lembaga itu tampaknya sudah berubah bukan lagi laboratorium tetapi aset pencari dana dengan cara yang tidak jelas.
Namun ada hikmah di balik itu, karena dengan tegas di dalam buku itu tercantum nama-nama mereka yang selama ini tampak “baik-baik” saja; ternyata menyimpan bara. Selama ini tampak begitu indah bagai rasi bintang Bima Sakti, ternyata “ekor petir” yang siap menyambar leher mereka yang tak segaris. Apakah Ini tinggalan ajaran atau paham dari yang dipertuan, entahlah biarkan sejarah yang mencatatnya.
Buku “kenangan” yang seharusnya berisi petuah kepada generasi penerus untuk selalu berhati-hati karena niat baik dilakukan dengan cara yang kurang baik, bisa berakhir tidak baik; ternyata pesan itu tidak ditemukan sampai halaman terakhir. Justru yang ada hanyalah pembelaan diri sepihak dengan menafikan luka orang lain karenanya. Jangan sampai ibarat pepatah mengatakan ……“Gajah dikelopak mata tidak tampak, tetapi tungau di seberang lautan tampak jelas”….. Semoga semua itu menjadi pembelajaran bagi kita semua (terutama diri penulis artikel ini) dan tidak ada sesuatu yang tidak mungkin jika Allah menghendaki.
Salam Waras (R-2)
Recent Comments