PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Lampung menggelar Sosialisasi Media Ramah Perempuan dan Anak, di Ballroom Hotel Emersia, Selasa (28/3/2023).
Kegiatan diikuti oleh 75 awak media baik cetak, elektronik, dan online, serta perwakilan organisasi media diantaranya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Lampung, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Lampung, Ikatan Wartawan Online (IWO) Lampung, Asosiasi Wartawan Profesional Indonesia (AWPI) Lampung, Komite Wartawan Republik Indonesia (KWRI) Lampung, Aliansi Jurnalistik Online Indonesia (AJOI) Lampung, dan IJP Lampung.
Dalam sambutannya, Kadis PPPA Provinsi Lampung Fitrianita Damhuri mengatakan, kegiatan Sosialisasi Media Ramah Perempuan dan Anak diselenggarakan untuk menyamakan persepsi pemberitaan yang ramah perempuan dan anak. Pemberitaan media diharapkan menerapkan perspektif korban yang melindungi perempuan dan anak yang mengalami kasus kekerasan.
Menurutnya, media merupakan mitra yang sangat membantu dalam mengawal kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat.
“Melalui MoU dengan delapan asosiasi media, diharapkan semakin meningkatkan komitmen dan sinergi pemerintah dengan media dalam mewujudkan pemberitaan yang ramah perempuan dan anak,” kata Fitrianita.
Sementara itu, Sekdaprov Lampung, Fahrizal Darminto yang mewakili Gubernur Lampung menyampaikan sambutan dan membuka kegiatan sosialisasi tersebut.
Fahrizal menyatakan, perempuan dan anak harus dilindungi dari pemberitaan negatif agar dapat tumbuh dengan wajar. Sesuai amanat UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka media massa ikut serta dalam memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak, salah satunya melalui pemberitaan yang ramah perempuan dan anak.
“Pemberitaan tentang perempuan dan anak hendaknya tetap memperhatikan hak-hak dan kepentingan terbaik bagi perempuan dan anak. Hindari pelabelan, buatlah konten-konten berita yang menghibur, tetapi mendidik,” tuturnya.
Kegiatan Sosialisasi menghadirkan empat narasumber, yaitu Ganjar Jationo (Kadis Kominfo Lampung), Sely Fitriani (Direktur LAdA Damar), Yuli Nugrahani (Ketua Forum Puspa Lampung), dan Vina Oktavia (Ketua FJPI Lampung).
Kadis Kominfo Lampung, Ganjar Jationo menekankan tentang kaidah pemberitaan tentang anak sesuai peraturan dewan pers nomor 1 tahun 2019, diantaranya wartawan merahasiakan identitas anak yang terlibat kasus hukum, wartawan memberikan fakta menggunakan kalimat yang positif dan empati, serta tidak membuat deskripsi yang seksual dan sadistis. Wartawan juga tidak boleh melakukan penggalian berita di luar kapasitas anak dan menyebabkan traumatik bagi anak.
“Jangan ditulis alamat jelas dan lengkapnya. Media harus punya keberpihakan yang jelas kepada perempuan dan anak,” kata Ganjar.
Kasus Kekerasan di Lampung
Sementara, Sely Fitriani memaparkan data kasus kekerasan pada perempuan dan anak di Lampung sepanjang 2022. Sely menyatakan, media merupakan mitra yang penting dan strategis dalam penanganan kasus-kasus kekerasan perempuan dan anak.
“Dari pemberitaan teman-teman jurnalis, kami bisa jemput bola melakukan pendataan dan pendampingan, serta mendorong kebijakan perlindungan bagi perempuan dan anak,” ujarnya.
Menurut dia, berdasarkan data yang dikumpulkan LAdA Damar dari pemberitaan tiga media besar di Lampung, terdapat 224 kasus kekerasan sepanjang 2022, dengan kasus pencabulan atau kekerasan seksual menjadi kasus yang tertinggi. Dari kasus tersebut, 163 korban adalah anak-anak.
“Anak-anak rentan menjadi korban kekerasan karena dianggap lemah, dan tidak berani melawan. Untuk itu para orang tua harus lebih waspada terhadap lingkungan sosial dan perubahan prilaku anak-anaknya,” tutur Sely.
Sely juga menjelaskan dampak yang dialami korban kekerasan baik berupa luka fisik, luka seksual, mati rasa, menyalahkan diri sendiri, phobia, psikosimatis, trauma hingga keinginan bunuh diri dan kematian.
“Banyak korban yang merasa dirinya tidak berguna lagi, apalagi ditambah dengan berita yang menyudutkannya, alamat ditulis lengkap, trauma mereka semakin bertambah dan memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup mereka,” urai Sely.
Oleh sebab itu, lanjutnya, sangat penting bagi media untuk memiliki perspektif korban dalam penulisan berita kasus kekerasan perempuan dan anak sehingga tidak menambah trauma pada korban.
Namun disisi lain, lanjutnya, media memiliki peran penting dalam menyuarakan ketidakadilan yang diterima oleh korban kekerasan seksual. Berita di media yang menjadi trending akan mendapat perhatian masyarakat dan ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.
“Dampak positif adanya berita mengenai kekerasan seksual adalah masyarakat menjadi tahu dan berhati-hati, serta pelaku merasa jera. Sedangkan dampak negatifnya, kesalahan beberapa media dalam memberikan kasus kekerasan seksual juga dapat merusak mental korban dan menambah beban baru bagi mereka,” tutur Sely.
Selanjutnya, Ketua Forum Puspa Lampung Yuli Nugrahani menyatakan korban data kekerasan perempuan dan anak juga dapat diakses di aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA). Berdasarkan data Simfoni PPA dari awal tahun 2022 hingga Maret 2023 tercatat 5.733 kasus kekerasan secara nasional, dan 143 kasus di Lampung.
“Dengan catatan, data ini adalah berdasarkan korban yang melapor,” kata Yuli.
Berita Berperspektif Gender
Pada sesi akhir, Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Lampung, Vina Oktavia memaparkan tentang penulisan berita yang adil dan berperspektif gender.
Vina memberikan tiga contoh judul berita pada media yang menulis korban secara seksis bahkan cenderung menyudutkan korban sebagai pemicu tindakan kekerasan yang terjadi pada dirinya.
Menurut Vina, judul dan pemberitaan seperti itu masih banyak ditemukan di berbagai media. Hal tersebut terjadi karena redaksi media belum memiliki perspektif yang berpihak kepada korban.
“Mengapa hal ini masih terjadi? Pertama karena budaya patriarki yang memandang perempuan sebagai objek seksual, kedua karena minimnya pengetahuan dan tidak taat pada kode etik jurnalistik, dan ketiga demi mendapatkan viewer atau clickbait dengan membuat berita sensasional dan mendiskriminasi korban,” ujar Vina.
Menurutnya, pemberitaan media seharusnya memberikan advokasi dan perlindungan terhadap korban, serta mencegah agar orang lain tidak mengalami kekerasan seksual serupa. Pemberitaan jurnalis akan mempengaruhi opini publik, kebijakan publik, memberikan keadilan sosial dan hak asasi manusia.
“Pemberitaan yang baik dan akurat akan membantu menjadi katalis untuk perubahan yang positif membantu mengakhiri budaya pemerkosaan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” ujarnya. (RINDA/R-1)
Recent Comments