PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Mirip dengan Hutan Kalimatan yang mengalami kerusakan atas nama investasi, hal yang sama terjadi pada hutan Lampung. Hingga saat ini, seluas 375.928 ha atau 37,4% dari 1.004.735 ha total hutan di Lampung, telah rusak parah.
Kerusakan didominasi alih fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman dan perkebunan musiman. Beberapa kalangan menilai, kerusakan itu salah satunya akibat kebijakan pembangunan dari Pemerintah Provinsi Lampung yang tak berorientasi jangka panjang.
Hal itu terungkap dalam nonton bareng dan diskusi publik yang digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Lampung bersama Teknokra Universitas Lampung (Unila), di Gedung Graha Kemahasiswaan Lama Universitas Lampung, Senin, 3 Juni, 2024. Diskusi bertajuk “Deforestasi Atas Nama Investasi” dipandu Koordinator SIEJ Simpul Lampung, Derri Nugraha.
Lima nara sumber yang hadir adalah Staf Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung, Mustakim; Fungsional Perencana Ahli Madya Bappeda Lampung, Ida Susanti; Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Hutan Dinas Kehutanan Lampung, Zulhaidir; Pengamat Kebijakan Publik, Dodi Faedlulloh; dan Jurnalis CNN Televisi Indonesia, M.Miftah Faridl.
Acara diawali dengan nonton bareng liputan investigasi kolaborasi berjudul “Melawan Penjagal Hutan Kalimantan”. Liputan yang diterbitkan CNN Televisi Indonesia itu mengungkap fakta, bahwa jutaan hektar hutan alam di Kalimantan Barat musnah dijagal atas nama investasi.
Hutan dengan keanekaragaman hayati, berganti tanaman monokultur (sejenis) yakni sawit dan akasia. Kerusakan ini memicu berbagai persoalan mulai ancaman terhadap satwa endemik hingga konflik dengan masyarakat adat.
Laporan tersebut diinisiasi oleh SIEJ pusat melalui platform Depati Project. Media yang tergabung dalam kolaborasi yaitu CNN Indonesia TV, Betahita.id, Pontianak Post, Mongabay Indonesia, Ekuatorial.com, dan Jaring.id.
“Kita merefleksikan deforestasi hutan Kalimantan dengan melihat kerusakan hutan di Lampung. Ada kemiripan dengan yang terjadi di sana. Bahwa kondisi hutan di Lampung tidak baik-baik saja. Lebih dari 30% hutan di Lampung mengalami kerusakan yang salah satunya akibat alih fungsi lahan,” Kata Derri.
Dia mengatakan, hal tersebut mesti jadi perhatian semua pihak. Sebab, hutan merupakan jantung dari sebuah daerah. Di dalamnya, terdapat ekosistem kehidupan yang harus dijaga. Jika rusak, dapat dipastikan terjadi ketidaksembangan ekosistem yang dapat memicu masalah multisektor mulai bencana alam hingga konflik sosial.
Zulhaidir tak menampik bahwa hutan di Lampung mengalami kerusakan. Namun, ia masih optimis dengan kondisi hutan yang ada. Menurutnya, lebih dari 60% hutan dalam kondisi cukup baik dan terjaga.
“Kami terus mengupayakan perlindungan hutan yang masih bagus serta merehabilitasi kawasan kritis,” ujarnya.
Zulhaidir mengatakan, tantangan kedepan ialah pertambahan jumlah penduduk. Saat ini, kawasan hutan banyak berbatasan langsung dengan desa-desa. Semakin tinggi jumlah penduduk, maka kebutuhan akan lahan meningkat. Hal itu bisa memicu, masyarakat masuk ke dalam kawasan hutan.
Lampung Minim Ruang Terbuka Hijau
Selain kerusakan hutan, dalam diskusi, Walhi Lampung juga menyoroti deforestasi di luar kawasan serta kebijakan tata ruang. Salah satunya, menyusutnya ruang terbuka hijau di Lampung. Mustakim mengatakan, ketersediaan ruang terbuka hijau di Lampung sangat minim.
“Di kota Bandar Lampung saja, jumlah RTH hanya sekitar 2,93%. Hal itu sangat jauh dari amanat undang-undang yang mewajibkan 30% dari luas kota,” katanya.
Catatan Walhi, selama dasawarsa terakhir, dari 344,256 ha luas RTH di Bandar Lampung, sekitar 102,43 hektare lahan beralih fungsi menjadi industri, perumahan, objek wisata, dan lain-lain. Selanjutnya, dari 33 bukit di Kota Tapis Berseri, sebanyak 20 bukit rusak parah. Sebagian besar menjadi pertambangan dan permukiman.
Hal itu disebabkan oleh kebijakan dari pemerintah yang kerap memberi restu pembangunan yang mengambil ruang terbuka hijau. Atas nama pembangunan dan investasi, ruang terbuka hijau disulap menjadi pusat bisnis dan jasa. Bukit-bukit ditambang, lalu dibentuk menjadi perumahan dan objek wisata. Dengan dalih untuk hajat hidup orang banyak, hutan dibabat dan terjadi alih fungsi lahan.
“Contoh terbaru, dalam Rancangan Perda RTRW Kota Bandar Lampung dalam pasal 22 huruf (b) yaitu Kawasan Hutan Lindung Batu Srampog Register 17 di Kecamatan Panjang, direncanakan ditetapkan sebagai kawasan perumahan,” ujar Mustakim.
Terkait persoalan tersebut, Ida Susanti mengatakan statusnya holding zone atau masih dalam proses peralihan. Sebab, sebetulnya sejak 2010 kawasan Batu Srampog secara faktual memang sudah terdapat pemukiman. Jadi coba dialihkan yang awalnya kawasan lindung menjadi perumahan. Namun, yang memiliki kewenangan tetap pemerintah pusat.
Menurutnya, secara garis besar, Bappeda memastikan untuk mempertahankan hutan dan memperbaiki hutan yang rusak dalam setiap perencanaan pembangunan di Lampung.
Kebijakan Publik Harus Libatkan Masyarakat
Melihat kondisi itu, Dodi Faedlulloh berpendapat, dalam setiap perumusan kebijakan publik harusnya melibatkan semua pihak terutama masyarakat yang bakal terdampak kebijakan. Dodi berkaca dari kasus di Kalimantan yang tersaji dalam liputan investigasi CNN. Di mana tiba-tiba sebuah perusahaan datang dan menggunduli hutan.
Masyarakat yang menggantungkan hidup pada hasil hutan, akhirnya terpaksa kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan. Sebab, masyarakat yang tinggal di sana tak pernah diajak diskusi untuk merumuskan kebijakan. Padahal, mereka sudah tinggal di sana sejak zaman leluhurnya. Menurutnya, hal itu jangan sampai terjadi di Lampung.
“Pemerintah mesti mendasarkan sebuah kebijakan pada studi ilmiah dan berbasis bukti nyata. Artinya, kebijakan tersebut sudah terbukti membawa dampak baik bagi lingkungan dan sosial,” kata Dodi.
Terakhir, M. Miftah Faridl sebagai jurnalis yang meliput langsung jejak deforestasi di Kalimantan berpesan, bahwa nilai investasi tak pernah sebanding jika dengan merusak lingkungan. Contohnya, jika lahan gambut dirusak, kerugian yang harus ditanggung negera dan masyarakat tidak akan sepadan. Sebab, lahan yang rusak akan membawa bencana ekologis dan konflik sosial.
“Berapa triliun yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi banjir bandang dan kebakaran hutan akibat lahan dirusak? Belum lagi nyawa yang harus melayang akibat kebijakan yang salah. Maka berapapun nilai investasinya tak pernah sepadan dengan ongkos lingkungan akibat kerusakan alam,” pungkas Farid. (RLS/R-1)
Recent Comments