Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Membaca komentar umpan-balik dari seorang kemenakan pada saat membaca artikel tulisan dengan ucapan seperti judul di atas, membuat terkesiap membacanya; sebab yang komentar itu seorang dokter yang Doktor. Tentu saja membuat pemikiran melayang jauh betapa telah sangat memprihatinkan kondisi moral bangsa saat ini. Namun sebelum jauh melangkah sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa itu candu yang bermetafora menjadi kecanduan.
Berdasarkan hasil penelusuran digital ditemukan informasi sebagai berikut: Candu adalah istilah dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada sesuatu yang menyebabkan ketergantungan atau kecanduan. Secara harfiah, kata ini digunakan untuk menggambarkan obat-obatan yang memiliki sifat adiktif, seperti opium. Namun, dalam konteks yang lebih luas, “candu” dapat merujuk pada segala sesuatu yang membuat seseorang kecanduan atau sangat tergantung, baik itu aktivitas, kebiasaan, makanan, teknologi, atau hal lainnya.
Pada penggunaan sehari-hari, “candu” sering kali memiliki konotasi negatif karena menunjukkan ketergantungan yang berlebihan sehingga sulit untuk dihentikan atau dikendalikan. Misalnya, seseorang dapat dikatakan “kecanduan” permainan video, media sosial, atau bahkan pekerjaan, yang berarti mereka menghabiskan waktu dan energi secara berlebihan pada aktivitas tersebut hingga mengabaikan aspek lain dalam hidup mereka.
Ketergantungan atau kecanduan ini bisa berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental, hubungan sosial, dan produktivitas seseorang. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda kecanduan dan mengambil langkah-langkah untuk mengelolanya dengan baik. Kecanduan untuk berbuat menyimpang mengacu pada dorongan kuat yang terus-menerus untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma atau aturan sosial, hukum, atau moral. Tindakan menyimpang ini bisa bervariasi dari perilaku yang secara sosial dianggap tidak pantas hingga aktivitas yang secara hukum dianggap sebagai pelanggaran.
Salah satu bentuk perilaku lain kecanduan adalah “kecanduan korupsi” yaitu: kondisi di mana seseorang memiliki dorongan kuat dan berulang untuk melakukan tindakan korupsi meskipun menyadari dampak negatifnya bagi diri sendiri, organisasi, dan masyarakat. Korupsi sendiri mencakup berbagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, seperti suap, penggelapan dana, nepotisme, dan manipulasi kontrak.
Faktor-Faktor yang mendorong kecanduan korupsi diantaranya adalah: Pertama, kekuasaan dan kesempatan: Akses terhadap kekuasaan dan kurangnya mekanisme pengawasan yang efektif dapat mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Kedua, krisis moral dan etika: Kelemahan dalam nilai-nilai moral dan etika individu dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap korupsi. Ketiga, lingkungan sosial dan budaya: Budaya yang permisif terhadap korupsi dan tekanan dari lingkungan sosial untuk mencapai status atau kekayaan dapat mendorong perilaku korup. Keempat, kesenjangan ekonomi: Ketimpangan ekonomi dan kebutuhan finansial yang mendesak bisa menjadi pemicu tindakan korupsi. Kelima, psikologis dan kepribadian: Beberapa orang mungkin memiliki kepribadian yang lebih cenderung mengambil risiko dan kurang memiliki rasa bersalah atau empati, yang bisa membuat mereka lebih rentan terhadap kecanduan korupsi.
Rasa haus untuk menimbun harta sebanyak-banyaknya bagai meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Tipikal kerakusan seperti ini semakin menjadi-jadi manakala ditambah sikap hidup hedonis yang melekat pada diri dan keluarga.
Dalam penelitian Sulfakar yang dituangkan dalam disertasi menemukan bahwa; pendidikan antikorupsi untuk saat ini sudah sangat mendesak segera dilakukan oleh semua penyelenggara pendidikan. Bahkan lebih jauh direkomendasikan sebaiknya dimulai dari lingkungan pendidikan informal (keluarga). Tinggal bagaimana sekarang pemerintah untuk memotong penyebaran kecanduan korupsi ini untuk juga disertai tindakan represif bagi pelaku korupsi.
Jika selama ini mereka tetap mendapatkan perlakuan sebagaimana nara pidana kriminal biasa, maka efek jera tidak akan didapat. Tampaknya penegakkan hukum terhadap perilaku korupsi selama ini belum tegak secara benar, bahkan cenderung juga ikut dikorupsi dengan cara yang korup.
Bisa dibayangkan selevel Kejaksaan Agung yang mencoba menegakkan hukum untuk perilaku korupsi triliunan di bidang pertambangan, harus berhadapan dengan mafia; bahkan sedang makan malam-pun diikuti sehingga detasemen yang selama ini digunakan untuk melawan teorisme “dipakai” untuk menguntit. Celakanya pelaku dari perbuatan itu tertangkap dan viral di media sosial, akibatnya penghakiman oleh nitizen tidak dapat dihindari. Celakanya lagi yang bersangkutan sekarang dilaporkan ke lembaga antirasuah karena berbuat korupsi. Sejauh mana kebenaran laporan itu tulisan ini tidak memiliki kapasitas untuk menjelaskannya. Hanya menjadi tampak aneh, manakala ada sebab dibuatkan akibat, dan akibat tadi dibelokkan menjadi sebab kembali.
Tampaknya candu di Indonesia itu sudah bermetamorfose, di samping candu dalam pengertian nyata atau yang lebih popular disebut narkoba seperti di jelaskan di atas. Sekarang ada candu baru yaitu korupsi dengan kelas “mega uang”; bisa dibayangkan korupsi sampai mencapai angka triliun, dan dilakukan dengan berjamaah, sistemik, terstruktur masif. Nilai korupsi sampai melebihi anggaran belanja daerah tingkat kabupaten/kota, bahkan bisa jadi provinsi. Ini sudah fantastis dan keterlaluan.
Mafioso koruptor tampaknya sudah sangat menguasai semua lini kehidupan negeri ini, sehingga diperlukan satu tindakan tegas untuk memberantasnya. Hanya masalahnya siapa yang mampu dan mau, karena untuk mencari yang seperti ini sudah sangat sulit negeri yang sudah berkumbang dengan korupsi. Apakah kita akan terus bernafas dalam lumpur, mari kita tanya pada sutradara film yang pernah membuat judul itu. Bernafas dalam Lumpur adalah sebuah film Indonesia dirilis tahun 1970 yang disutradarai oleh Turino Junaidy serta dibintangi oleh Rachmat Kartolo dan Suzanna.
Salam Waras (R-2)
Recent Comments