Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) -Akhir pekan yang terik penanda mulai masuk ke musim kemarau sudah mulai terasa. Suhu yang meningkat dan hembusan angin yang kering, seolah melengkapi penanda, walaupun di ujung ufuk sana masih ada warna awan hitam seolah menggantung harapan akan hujan. Semua mencerminkan bahwa kepastian yang tidak pasti itu selalu hadir dalam kehidupan manusia. Tidak salah jika orang cerdik pandai berkata “kepastian yang pasti ya ketidakpastian itu sendiri”; karena tidak seorangpun diantara kita yang mengetahui apa yang akan terjadi beberapa saat kedepan.
Berdasarkan telusuran digital ditemukan informasi konsep dasar “kepastian yang tidak pasti” merupakan keyakinan subyektif di tengah ketidakpastian obyektif. Manusia sering merasakan kepastian dalam dirinya sendiri (keyakinan, iman, keputusan), meskipun tidak ada jaminan atau bukti luar yang memastikan hal itu benar. Hal ini muncul disebabkan oleh karena realitas sering tidak bisa diketahui secara mutlak (semua bisa berubah, terbatas, atau tidak terjangkau nalar). Namun demikian manusia tetap butuh makna, arah, dan keputusan untuk hidup dan bertindak.
Oleh karena itu maka manusia “menciptakan” kepastian dalam dirinya sendiri, meskipun sebenarnya dia tahu itu belum tentu benar sepenuhnya. Oleh karena itu pernyataan yang menyatakan “Aku yakin, meski aku tahu aku tidak bisa yakin sepenuhnya.”; Itu bukan kelemahan logika, tetapi justru kekuatan manusia sebagai makhluk sadar, yang bisa membuat keputusan meski dunia tidak memberikan jaminan.
Konsep “kepastian yang tidak pasti” menyentuh tema yang sangat mendalam dalam filsafat manusia, terutama dalam ranah epistemologi (teori pengetahuan), eksistensialisme, dan bahkan postmodernisme. Mari kita telusuri secara perlahan.
Pertama, Epistemologi : Kepastian dan Ketidakpastian.
Dalam epistemologi klasik (Plato, Descartes), kepastian dianggap sebagai puncak pengetahuan. Descartes, misalnya, mencari dasar pengetahuan yang pasti melalui keragu-raguan metodis—dan akhirnya menemukan cogito ergo sum (“aku berpikir maka aku ada”) sebagai satu-satunya hal yang pasti. Namun, banyak filsuf kemudian—seperti David Hume dan Immanuel Kant—menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan kita tentang dunia empiris sebenarnya tidak pernah sepenuhnya pasti. Kita hanya bisa bicara tentang probabilitas atau “kepastian praktis”. Dengan demikian: Kepastian itu lebih ideal daripada riil, oleh sebab itu dalam praktiknya, manusia hidup dalam zona ketidakpastian.
Kedua, Eksistensialisme : Menerima Ketidakpastian sebagai Kenyataan Hidup.
Filsuf seperti Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre justru melihat ketidakpastian sebagai bagian esensial dari eksistensi manusia. Mereka menolak ilusi akan kepastian mutlak dan mendorong manusia untuk menerima absurditas hidup. Oleh karena itu harus membuat pilihan dengan penuh tanggung jawab meski tanpa jaminan benar atau salah. Oleh sebab itu dalam pandangan ini, “kepastian yang tidak pasti” bisa berarti bahwa satu-satunya kepastian dalam hidup adalah ketidakpastian itu sendiri—dan tugas manusia adalah menciptakan makna dalam ruang kosong itu.
Ketiga, Postmodernisme : Kepastian Dianggap Ilusi
Filsuf postmodern seperti Jacques Derrida atau Jean-François Lyotard bahkan lebih jauh lagi: mereka mempertanyakan gagasan tentang kebenaran universal dan narasi besar (grand narrative). Dalam pandangan ini, kepastian dianggap sebagai konstruksi budaya atau bahasa—dan selalu bisa didekonstruksi. Sebab itu mereka berpandangan kepastian yang tidak pasti adalah wujud dari kesadaran bahwa semua yang tampak kokoh bisa retak.
Secara ringkas dapat kita pahamkan bahwa manusia merindukan kepastian, namun hidup dalam dunia yang tak pasti. Maka, filsafat manusia mendorong kita untuk: (1). Menerima bahwa kepastian mutlak itu mitos, (2). Menjalani hidup dengan kesadaran reflektif, dan (3) menciptakan makna tanpa harus menunggu jaminan.
Wajar saja jika dalam pandangan budaya ada pepatah yang mengatakan “esuk dele, sore tempe” terjemahan bebasnya pagi kedelai, sore tempe. Maksudnya segala sesuatu di dunia ini sangat pasti akan berubah, yang tidak berubah ya perubahan itu sendiri. Oleh karena itu Tuhan sudah mengingatkan melalui Firman-Nya yang tertulis dalam kitab suci yang terjemahan bebasnya “Jangan kau cintai sesuatu secara berlebihan karena pada masanya nanti akan kau benci, dan, jangan pula kau benci sesuatu secara berlebihan karena pada waktunya dia akan kau sayangi”. Orang Jawa mengatakan “urip sakmadyo” artinya hiduplah secukupnya, tidak berlebihan. Sekalipun adagium itu mudah diucapkan namun kenyataannya sangat sulit dijalankan.
Salam Waras (R-1)
Recent Comments