PORTALLNEWS.ID – Muhammad Husein kecil baru selesai shalat isya bersama ayahnya, Adjie Muslim dari masjid kampung mereka, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Sesampainya di rumah, sang ayah langsung menghidupkan televisi, menyetel TVRI, dan menonton Dunia Dalam Berita. Ini sudah menjadi rutinitas ayahnya, hampir setiap malam mendengar informasi tentang perkembangan dunia, terutama tentang Palestina.
“Jurig Atah!” tiba-tiba terdengar suara hardikan sang ayah. Husein mengintip, terlihat ayahnya sangat marah saat melihat tokoh-tokoh zionis Israel seperti Netanyahu dan Ariel Sharon tampil di layar monitor televisi. Umpatan kasar dalam bahasa Sunda itu dilontarkan penuh emosi hingga gemeretak giginya terdengar jelas. Hanya di saat-saat seperti itulah Husein melihat ayahnya benar-benar marah.
“Ayah saya itu, Masyaallah orang paling sabar sedunia yang saya temui. Ayah saya nggak pernah musuhin tetangga, kalau digunjing, dihina, difitnah, almarhum ayah saya nggak pernah nanggepin. Ayah saya marah cuma ketika melihat orang-orang zionis israel,” kata Muhammad Husein yang akrab disapa Ustadz Husein Gaza, saat memberikan Edukasi Palestina di Masjid Baitul Ilmi Darmajaya, Kamis, 25 Januari 2024.
“Apa hikmahnya? Ayah saya cerdas dalam memilih musuh,” lanjut Husein.
Menurut Husein, di masa mudanya, sang ayah merupakan jawara dan menjadi pimpinan Banser di Garut. Namun, ayahnya tidak pernah berselisih atau bermusuhan dengan tetangga dan sesama muslim. Ayahnya hanya menganggap para zionis Israel lah musuh yang sesungguhnya karena telah menodai Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha), dan membantai umat muslim di Palestina.
Misi Baitul Maqdis
Kecintaan kepada Baitul Maqdis dan saudara-saudara muslim di Palestina tertanam sejak kecil dalam diri Husein. Dia juga sangat mengingat petuah sang ayah yang akhirnya menumbuhkan tekad dalam dirinya untuk ikut berjuang di Palestina.
“Ayah saya mengajari saya; Husein, kamu itu punya misi Baitul Maqdis. Itu adalah PR kita hari ini, fokus tujuan kamu adalah Baitul Maqdis,” kata Husein mengenang nasehat sang ayah kepada dirinya.
Pada tahun 2000, ketika Husein berusia 12 tahun, seorang jurnalis Palestina datang ke Masjid kampungnya, di Cileungsi. Di masa itu, kehadiran orang dari Palestina masih sangat jarang, tidak seperti sekarang. Hal ini memberi antusiasme luar biasa pada warga dan santri di Pondok Pesantren milik ayahnya, Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi. Usai shalat berjamaah, jurnalis Palestina tersebut berdiri di depan podium. Dia menceritakan tentang kondisi masyarakat Palestina yang dijajah oleh Israel.
“Dia mengatakan, dunia ini ibarat seekor burung, ada sayap kanan kanan, ada sayap kiri, Palestina adalah jantung burung itu. Barang siapa menguasai palestina, maka dia menguasai dunia,” kata Husein mengutip kalimat jurnalis Palestina tersebut yang ketika itu disampaikan dalam bahasa Arab.

Alquran menyebut Palestina sebagai negeri yang diberkahi untuk seluruh alam, negeri yang disucikan. Itu isyarat dari Allah bahwa keberkahan umat Islam sangat terikat dengan kondisi Masjidil Aqsa. Palestina juga merupakan negeri yang paling strategis, mengikat tiga benua besar. Disebelah Timur,Tenggara, Timur Laut berbatasan dengan Benua Asia, sebelah Barat Daya berbatasan dengan Mesir dan Benua afrika, dan di Barat Laut berbatasan dengan Laut Mediterania.
Puisi yang Mengguncang Hati
Usai memaparkan tentang kondisi Palestina, jurnalis tersebut juga menayangkan puisi yang dibacakan oleh seorang anak Palestina tentang ayahnya yang dipenjara oleh zionis Israel.
“Saat itu diputar puisi seorang anak Palestina, sampai sekarang terngiang-ngiang di telinga saya, nangis saya, deras air mata saya mendengar puisi itu,” kata Husein.
Video lama dengan warna buram cenderung hitam putih yang menampilan puisi anak Palestina tersebut ditayangkan di depan jamaah yang hadir di Masjid Darmajaya.
“…….dan bayi baru pun terlahir sesudah bayi yang itu, dan para syuhada berguguran setelah gugurnya syahid yang lalu, sedangkan ayah masih disembunyikan di sebalik jeruji besi, dalam sel mengerikan yang tidak layak dihuni manusia. Mana hari kemenangan dan kenancuran penjara-penjara besi itu? Malulah kalian! Aku ingin ayahku pulang! Aku ingin ayahku pulang!” begitu bait terakhir puisi yang dibacakan anak Palestina tersebut.
Di usia yang masih 12 tahun, sebaya dengan anak Palestina yang kehilangan ayahnya itu, puisi itu menghujam relung hati Husein. Dia seakan merasakan luka yang sama, sakit yang sama, dan perih yang sama, membuatnya menangis kencang dan terisak-isak.
“Akhirnya, saat itu saya ber-azzam, ya Allah bawa saya ke Palestina, itu doa saya waktu usia 12 tahun,” kata Husein.
Keinginan yang kuat untuk ke Palestina memotivasi dirinya untuk bersungguh-sungguh belajar bahasa Arab, bahasa Inggris, menghapal Al-Qur’an, dan azan. Sebab, pikiran kecilnya waktu itu mengatakan jika menguasai empat hal tersebut, maka dia bisa survive dimanapun berada.
Namun, bekal ilmu selama 12 tahun di Pondok Pesantren Al-Fatah mulai dari dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga lulus Madrasah Aliyah (MA) belum membuatkan mumpuni dalam menguasai bahasa Arab, dan bahasa Inggris. Husein kemudian melanjutkan kuliah jurusan Jurnalistik, lalu mendalami nahwu shorof, ilmu mantiq, dan ilmu balaghah di Mranggen, Demak, Jawa Tengah. Belum puas dengan kemampuannya, Husein kembali belajar di Pondok Pesantren Durian Sawit, Jakarta Timur, miliknya Ustad Bachtiar Nasir.
“Saya alumni pertama beliau, di situ saya belajar Al-Qur’an lagi, bahasa Arab percakapan, belajar ilmu syar’i. Harusnya empat tahun, tapi dua tahun selesai saya,” kata Husein yang berprinsip cukup mendapatkan ilmunya saja dan tidak mengharapkan ijazah.
Asia Caravan to Gaza
Doa dan ikhtiar Husein akhirnya membuahkan hasil. Pada 2010, ada gerakan aktivis kemanusiaan dari seluruh dunia yang berkumpul di India dalam sebuah aksi bernama “Asia Caravan to Gaza”. Terdapat 120 aktivis kemanusiaan yang akan melakukan perjalanan darat dari India ke Gaza, yaitu mulai dari India, Bangladesh, Pakistan, Iran, Turki, Suriah, Lebanon, Mesir, Gaza.
Kabar tersebut sampai ke Cileungsi, pondok ayahnya. Kemudian, para sesepuh berkumpul dan memutuskan untuk mengirimkan lima perwakilan untuk mengikuti aksi konvoi kemanusiaan itu. Dipilihlah dua insinyur, satu driver, satu ustadz, sedangkan yang satu lagi masih kosong. Seketika, semua mata tertuju kepada ayahnya Husein.
“Sesepuh itu bilang ; Ustad Adjie Muslim, Anda kan anaknya banyak, 16, satu anda wakafin ke Gaza ya. Akhirnya, ayah saya memilih saya untuk ke Gaza,” tutur Husein.
Husein menyatakan, perjalannya ke Gaza bukan perjalanan satu tahun, dua tahun, tetapi perjalanan seumur hidup. Dia sampai di Gaza pada 5 Januari 2011, dan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Islamic University of Gaza (IUG) jurusan Syari’ah Islamiyah. Sesuai azzam-nya, Husein ikut berjuang di Palestina dengan menjadi jurnalis, kontributor lepas, dan aktivis kemanusiaan. Dia bergabung di Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) dan ikut mengawasi pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza.
Pada 17 Agustus 2014, saat gencatan senjata perang Israel-Palestina, Husein menikah dengan Jinan Ar-Raqb, muslimah asal Khan Younis, selatan Gaza, anak kelima dari Fauzi Ar-Raqb. Jinan merupakan hadfizah yang menyelesaikan hapalan 30 juz Al-Qur’an pada program tahfidzul Qur’an di Gaza dan juara lomba menghapal 300 hadist Nabawi. Kini, Husein dan Jinan memiliki dua putra, yaitu Musallam M.A. Jenan, dan Habibirrahman M.A. Musallam Jenan.

Husein kemudian mendirikan International Networking For Humanitarian (INH) yang menaungi semua aktivitas kemanusiaannya di Gaza. Melalui akun Youtubenya Muhammad Husein Gaza, dia sering membagikan kegiatan-kegiatan kemanusiaan yang dilakukan di Palestina, mulai dari berbagi makanan, air bersih, obat-obatan, hingga pakaian dan selimut saat musim dingin melanda.
Merasakan Perang Gaza
Husein menceritakan, agresi militer Israel ke Gaza pada 2012 menjadi pengalaman pertamanya merasakan dan menyaksikan bombardir Israel di Gaza. Menurutnya, tahun ini Israel membombardir Gaza selama 12 hari dengan misi menaklukkan Gaza, tapi gagal.
“2012 itu seribu bom jatuh ke Gaza, lewat udara. Pada 2014 pengalaman kedua saya, kami dibombardir lagi, lebih parah, kali ini 50 hari, lebih brutal. Lagi-lagi Gaza menolak untuk menyerah, berakhir dengan Israel angkat bendera putih, pejuang Gaza berhasil mempertahankan Gaza,” cerita Husein.
Kemudian pada 2021, Gaza kembali dibombardir selama 14 hari dengan kenacuran yang lebih masif. Menurut Husein, setiap terjadi perang di Gaza, dia selalu dihubungi oleh Kementrian Luar Negeri Indonesia menawarkan evakuasi keluar dari Gaza.
“Mas Husein, ini kami memantau sudah panas di Gaza nih, Ente mau pulang nggak kita evakuasi nih, dan selama itu saya menolak,” kata Husein.
Menurut Husein pada perang-perang sebelumnya itu, dia masih bisa bergerak melaksanakan tugasnya sebagai jurnalis dan aktivis kemanusiaan, walaupun akses listrik dan internet kerap mati dan dibatasi.
Namun, lanjut Husein, agresi militer Isreal pada 2023 ke Gaza bukan perang lagi, tetapi pembantaian. Israel tanpa malu-malu meminta dukungan militer dari sekutunya, yaitu Amerika dan Inggris untuk menghancurkan Gaza yang luasnya hanya 365 kilometer persegi.
Amerika mengirimkan puluhan kapal induknya ke perairan Israel lengkap dengan teknologi militernya, begitu juga dengan Inggris yang mengirimkan kapal induk dan tentaranya, sementara Jerman hingga saat ini sudah mengirimkan 10 ribu amunisi tank untuk Isarel, belum lagi dukungan dari Perancis dan negara-negara Eropa lainnya.
“Dikeroyok oleh Israel, Amerika, Inggris dengan kekuatan penuh, Gaza nggak tumbang, kok bisa? Sudah 70 ribu ton bom dijatuhkan di Gaza, nggak juga tunduk. Makanya bicara Gaza jangan pakai logika nggak akan nyambung, tapi pakai kacamata iman, pakai kacamata Al-Qur’an, baru nyambung, karena saya merasakan sendiri bagaimana kehidupan di Gaza itu,” jelas Husein.

Evakuasi Penuh Tantangan
Perang kelima ini sangat keras. Husein tidak bisa bergerak melakukan tugas kemanusiaan di tengah bombardir yang tiada henti. Akhirnya, ketika Kemenlu Indonesia menghubunginya untuk evakuasi, Husein menyetujuinya.
Proses evakuasi dari Gaza menuju perbatasan Rafah Mesir juga tidak mudah. Husein bersama istri dan dua anaknya empat kali gagal dievakuasi, padahal mereka harus melewati jalan utama Salahuddin, satu-satunya jalan menuju perbatasan Rafah. Di sepanjang jalan bangkai-bangkai mobil dan jenazah para syuhada berserakan. Di atas mereka beterbangan drone dan jet-jet tempur yang memborbardir kanan-kiri jalan.
“Saya berhasil evakuasi setelah evakuasi yang ke 5, tanggal 12 November 2023, saya keluar dari Gaza, Setelah 35 hari saya merasakan dentuman di Gaza,” kata Husein.
Tanggal 14 November 2023, Husein take off dari Bandara Kairo, Mesir dan pada 15 November 2023 landing di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Ketika landing, dentingan notifikasi pesan WhatsApp berbunyi beruntun, salah satunya pesan dari kakaknya di grup WhatsApp keluarga.
Kakaknya memberikan kabar bahwa sudah banyak awak televisi, radio, podcast, kelompok pengajian dan masjid yang meminta wawancara dengannya. Namun, Kakaknya menyarankan agar Husein dan keluarga istirahat dulu tiga hari setelah menghadapi perang brutal di Gaza.
“Ketika mendengar kata istirahat, saya respon ‘berani-beraninya saya berpikir istirahat sekarang, sementara detik ini teman-teman saya, keluarga saya, rekan saya di Gaza dibantai tanpa istirahat, dibombardir, dibunuhi tanpa istirahat, nggak ada istirahat, terima semuanya’. Sampai sekarang, saya belum istirahat nih, sudah dua bulan lebih ke Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Medan, Jawa Barat, per hari bisa lima titik,” kata Husein.
Edukasi Palestina
Husein menegaskan, dia pulang ke Indonesia bukan untuk healing, rekreasi dan berleha-leha, tetapi untuk melanjutkan perjuangan yang belum selesai. Dia memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menyampaikan apa yang dia lihat, dan dia rasakan di Gaza. Oleh sebab itu, Husein berkeliling ke seluruh daerah di Indonesia untuk memberikan kajian Edukasi Palestina.
Dalam menyampaikan Edukasi Palestina, Husein tidak mau disertakan dengan penggalangan donasi sebab dia tidak ingin meremehkan dan merendahkan penduduk Palestina. Menurutnya masyarakat Palestina telah membantu umat Islam se dunia untuk berjuang mempertahankan Masjidil Aqsa yang saat ini dinodai dan dikuasai oleh zionis Isael.
“Ini adalah kajian edukasi, kalau kita cuma ngasih harta sisa-sisa kita untuk Gaza, ntar pulang tanpa ada pemahaman substansi mengapa kita memperjuangkan Gaza, sia-sia,” kata Husein.
Husein selalu mengingatkan peserta pengajian tentang Hadist Nabi yang menjawab pertanyaan Maimunah (bekas budak Nabi) tentang apa yang harus dilakukan ketika seseorang tidak mampu ke Baitul Maqdis. Nabi menjawab “Hendaklah dia memberi minyak yang dengannya lampu bisa dinyalakan di dalamnya. Barang siapa yang melakukan itu, maka ia seperti telah mendatanginya.”
Husein menegaskan, melihat penduduk Palestina harus melihatnya sebagai orang-orang yang dihormati dan dicintai, bukan dikasihani. Oleh sebab itu, umat Islam juga harus memperlakukan mereka selayaknya orang yang dicintai, memberikan hadiah terbaik dalam mendukung perjuangan mereka yang mewakili perjuangan seluruh umat Islam di dunia. (RINDA/R-1)
Recent Comments