Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) -Pada waktu kecil dahulu sering bermain di Langgar, atau sekarang lebih dikenal dengan musala, bersama teman sebaya. Langgar yang berada di halaman rumah pemuka agama yang disebut Kiai itu; kami bermain hiruk-pikuk berteriak dan lari ke sana-kemari, apalagi jika musim bulan purnama, karena belum ada penerangan listrik, rasanya sinar bulan itu menjadi teman setia kami bermain petak-umpet.
Disanalah kami sering mendapat marahan dari Pak Kiai dengan kalimat “Ojo podo pecicilan”; manakala kami berlari-lari, berteriak, yaaa…namanya anak-anak. Tapi kami tidak sakit hati, justru kami makin menghormati beliau karena kecerewetannya itulah yang membuat kami rindu untuk datang ke Langgar.
Lalu apa makna sesunguhnya pecicilan itu? Pecicilan adalah istilah yang menggambarkan individu dengan perangai super aktif, tidak bisa diam, dan selalu bergerak ke sana kemari. Jika di lihat dari asal kata maka kata ini berasal dari Bahasa Jawa; dimaknai anak yang hiperaktif atau lasak. Secara pisikologis memang pada periode tertentu anak-anak akan mengalami periodesasi hiperaktif atau lasak ini; namun seiring kematangan perkembangan kejiwaan dan pertumbuhan fisik, pada waktunya mereka akan masuk pada periodesasi tenang. Menjadi persoalan jika laku lasak ini tidak sembuh-sembuh sampai dewasa, tentu menjadi “wagu” atau terjemahan bebasnya tidak patut.
Perilaku pecicilan memang layak ditabalkan kepada anak-anak; sebab hanya anak-anaklah yang tampaknya lebih tepat menampilkan perilaku ini. Akan menjadi persoalan jika itu ditampilkan oleh orang dewasa,seperti disinggung di atas. Bisa dibayangkan jika calon pemimpin suatu negeri memiliki perilaku pecicilan di atas panggung terhormat, tentu menjadi tontonan yang tidak layak ditonton.
Tampaknya pendidikan etika di negeri ini tidak berbanding searah dengan pendidikan akademik; karena itu tidak aneh jika ada diantara mereka yang memiliki pendidikan akademiknya mumpuni, tetapi etikanya memprihatinkan. Dan, tidak jaminan mereka yang pendidikannya di luar Indonesia, memiliki etika lebih baik; walaupun tidak menutup kemungkinan bisa jauh lebih baik. Hal ini disebabkan karena etika lebih besar dikontribusi oleh pendidikan informalnya dalam keluarga.
Nilai-nilai yang dianut dan ditumbuhkembangkan dalam keluarga memiliki peluang lebih besar untuk membentuk perilaku etika, jika dibandingkan dengan pendidikan nonformal dan formalnya.
Etika dan adab adalah puncak dari pendidikan yang berkaitan dengan kepribadian; oleh sebab itu sekalipun gelar akademiknya sepanjang jalan kenangan, tetapi jika adab dan etikanya tidak tercermin dalam perilakunya; maka tidak lebih adalah pepesan kosong belaka.
Dan, jika model begini dijadikan pimpinan barisan, maka sudah bisa dipastikan semua perintah komando yang keluar dari mulutnya, tidak lebih dari auman Singa Ompong yang tidak memiliki wibawa.
Negeri yang disegani tidak cukup dipimpin oleh orang pandai, tetapi juga beretika dan berahlak mulia, itu pesan para pendahulu kepada kita. Namun sayang banyak diantara kita lupa akan sejarah, sehingga “kemanusiaan Yang adil dan beradab” hanya tinggal pada slogan.
Meninggikan seranting kepada orang yang lebih tua, itu adalah adab nusantara; yang memang sudah hidup lama dibumi pertiwi ini. Pengingkaran terhadab adab etika ketimuran adalah perilaku congkak yang tidak berahlak. Penulis mengajak berdoa kepada semua pembaca semoga negeri ini selalu mendapatkan pemimpin yang memiliki etika dan ahlak mulia, seperti tuntunan yang telah dicontohkan oleh para leluhur kita.
Salam waras (R-2)
Recent Comments