Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Bandarlampung
PORTALLNEWS.ID – Berdasarkan aturan perundangan kepada mereka Kepala Daerah yang karena waktunya habis, atau mencalonkan diri untuk menjadi Anggota Legislatif, harus undur diri dari jabatan yang diemban. Tampaknya aturan ini sudah dilaksanakan; bahkan di semua daerah di negeri ini hal itu sudah terjadi. Kepatuhan akan perundang-undangan patut kita acungi jempol karena semua berjalan sesuai aturan. Hanya saja bagi yang bersangkutan tampak ada kekecewaan yang tidak terucap walau tersirat; sehingga harus meninggalkan singgasana yang sudah diperoleh dengan tidak mudah, bahkan lebih ekstrim ada yang mengatakan berdarah-darah.
Ada beberapa hal yang tampaknya perlu disikapi dengan kepala dingin, pertama: bahwa jabatan itu amanah dilihat dari konsep ketuhanan, dan diatur oleh undang-undang dalam pelaksanaan. Oleh sebab itu sifat kesementaraan akan melekat secara penuh kepada yang bernama jabatan. Dengan kata lain jabatan itu tidak abadi, ada saat mulai dan ada saat akhir. Saat mulai bersikap amanah dan saat akhir bersikap ikhlas, karena keduanya adalah pasangan yang tercipta dengan antara keduanya kita berada.
Oleh karena itu manakala berakhir tidak perlu disesali apalagi diratapi, tetapi harus berani evaluasi diri, jika gagal akui dan mohon maaf pada publik, sehingga tetap bisa berdiri tegak. Perlu disadari bahwa gagal dan berhasil juga pasangan yang harus selalu kita jumpai. Jangan bersikap datang tampak muka, pergi tidak pamit; sekalipun berstatus sebagai pejabat tinggi, sebenarnya tidak lebih adalah debu yang menempel di sepatu.
Kedua, jabatan adalah kata lain dari pelayan; inti dari layanan adalah memuaskan pelanggan; oleh sebab itu jika dalam melayani tidak ditemukan keunggulan, maka tidak salah mereka yang dilayani akan meninggalkan pelayan. Oleh sebab itu pimpinan, terutama di pemerintahan, hanya diuntungkan memiliki pegawai yang digaji negara dan harus patuh dan taat pada pimpinan yang diatur oleh undang-undang. Namun dari aspek hakekat manusia sebenarnya mereka memiliki kebebasan dalam berpersepsi; bisa jadi saat dimuka pimpinan tampak manis, walaupun sebenarnya dia adalah racun berbungkus madu. Atau sebaliknya tampak luar tidak menarik, tetapi sebenarnya dia adalah pengikut sejati. Kekuasaan sering mengaburkan pengelihatan hati dalam memilih dan memilah keduanya.
Pada saat menjelang akhir masa jabatan, maka di sana sebenarnya keaslian para pendukung terlihat. Mereka yang selama ini tampak setia, bisa jadi dia adalah orang pertama yang meninggalkan; sebaliknya bisa saja orang yang selama ini kurang disukai, tetapi dia adalah orang yang setia sampai akhir, bahkan tidak jarang dia adalah orang terakhir yang melambaikan tangan dimuka pintu gerbang. Anehnya kesetiaan itu tidak melekat pada jabatan, sebab bisa jadi orang yang paling merasa kehilangan kelengseran tadi adalah penjaga gedung atau pramuwisma yang sehari-hari melayani; sementara para pejabat atau teman yang selama ini sering berperan sebagai teman tertawa, justru menjadi orang pertama yang hengkang dari permukaan.
Pembelajaran yang dapat dipetik dari peristiwa itu adalah kelegowoan dari siapapun kita untuk menerima kenyataan, apapun bentuknya. Karena jabatan tidak lebih sebagai pakaian, yang pada waktunya kita harus ganti; karena jika tidak, maka pakaian itu akan berbau tidak sedap. Ini telah dibuktikan oleh Abu Nawas Si Cerdik jaman lampau, yang membuka bajunya karena orang hormat padanya karena baju. Manakala baju itu ditanggalkan, hormat untuknya juga tanggal.
Sayangnya pembelajaran tentang filosofi yang satu ini tidak pernah diajarkan pada lembaga formal, dan non-formal. Kebanyakan diperoleh dari lembaga pendidikan informal yang intensitasnya tidak begitu inten. Oleh karena itu aneh jika kita temukan adanya pemimpin hanya siap dilantik tapi tidak siap diganti.
Biarkan Musim Berganti itu judul Film di era 70-an; demikian juga dengan pemilihan umum yang akan datang.
Biarkan dia berlalu menjalani takdirnya, siapa yang menjadi dan siapa yang gagal; itu semua sudah tertulis dalam Pakem kehidupan masing-masing. Kita tidak perlu berkelahi hanya karenanya; bak pepatah lama mengatakan “Biduk lalu kiambang bertaut”; kita semua bersaudara lahir dari Rahim Ibu Pertiwi, semua kita persembahkan untuk negeri agar tetap jaya sepanjang masa. (R-1)
Recent Comments