PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Universitas Lampung (Unila) membangun sistem pengelolaan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) yang terintegrasi dari semua laboratorium di tingkat prodi dengan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Unila.
Untuk itu, Unila menyelenggarakan lokakarya khusus pembuatan Standar Operasional Prosedur (SOP) pengelolaan limbah B3 bagi para kepala laboratorium dan laboran yang ada di lingkungan kampus.
Lokakarya berlangsung di Hotel Radisson, Selasa, 10 September 2024, dipandu oleh dua narasumber dari Unit Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor (IPB University), yaitu Dr. Mohammad Khotib, S. Si., M.Si., dan Mohammad Zaky, STP., M.K3. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Program Revitalisasi Perguruan Tinggi Negeri (PRPTN) Tahun Anggaran 2024.
Dalam lokakarya, Mohammad Khotib meminta semua kepala laboratorium atau perwakilan laboratorium untuk menyusun SOP pengelolaan limbah B3 yang dimulai dari inventarisasi jenis limbah B3, penentuan karakteristik limbah B3, serta kuantitas atau jumlah limbah yang dihasilkan di masing-masing laboratorium.
Dia menekankan, sangat penting bagi laboran atau officer laboratorium memiliki kompetensi dalam pengelolaan limbah B3, karena identifikasi awal apakah suatu bahan mengandung limbah B3 atau tidak, adalah dari pengguna bahan tersebut. Laboran juga harus memahami karakteristik limbah B3, serta memperhatikan kompatibilitas limbah B3, apakah bahan-bahan tersebut berbahaya jika dicampurkan atau tidak.
“Sangat penting untuk mengidentifikasi karakteristik limbah B3, apakah bahan ini mudah meledak, mudah menyala, toksit terhadap lingkungan, dan lainnya. Untuk jenis bahan dan karakteristik limbah B3-nya ada list di MSDS (material safety data sheet). Jadi bahan-bahan yang sudah ada list di MSDS tidak perlu uji karakteristik lagi, cukup ikuti panduan itu saja. Kalau memang ada bahan yang sama sekali tidak diketahui apakah mengandung limbah B3 atau tidak, maka dapat dilakukan uji karaktersitik di laboratorium yang berkompeten,” ujar Mohammad Khotib.
Poin yang patut diklasifikasikan sebagai limbah B3, diantaranya adalah yang melibatkan atau mengandung antibiotik dan bahan-bahan karsinogen, limbah cat dan vanish mengandung pelarut organik, residu sampel limbah B3, limbah klinis yang memiliki karakteristik infeksius, dan produk farmasi kedaluarsa. Bahkan, di skala industri besar, air bekas cucian yang menggunakan deterjen konsentrasi tinggi dikategorikan sebagai limbah B3 yang harus dikumpulkan dan diolah sebelum dikembalikan ke lingkungan.
Di laboratorium, identifikasi limbah B3 secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu asam, basa dan solven/pelarut. Menurutnya, semua limbah jenis asam dapat dicampurkan dalam satu wadah, begitu juga larutan basa, sedangkan solven atau pelarut yang tidak mengandung logam bisa dicampurkan dalam pengumpulannya, kecuali pelarut yang mengandung logam harus diperhatikan kompatibelnya.
Dia menekankan, penjelasan tentang bahan yang mengandung limbah B3 dan prosedur pembuangan limbah B3 harus dijelaskan kepada setiap pengguna laboratorium, baik mahasiswa, dosen, ataupun peneliti dari luar kampus yang menggunakan lab.
“Kalau di lab kami di IPB, ada namanya JSA, job safety analisys, saat masuk lab mahasiswa sudah harus mengidentifikasi bahan yang dipakai apa, jenis limbahnya apa, dibuangnya di mana. Jadi itu dijelaskan di awal, JSA menjadi salah satu syarat untuk beraktifitas di lab,” paparnya.

Pada kegiatan lokakarya, semua perwakilan laboratorium melakukan presentasi tentang SOP pengelolaan limbah B3 di laboratorium masing-masing. Setelah itu dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab.
Diwawancara di sela kegiatan lokakarya, Mohammad Khotib menuturkan, melalui kegiatan lokakarya, dia memandu secara teknis bagaimana cara membuat sistem pengelolaan limbah B3 di Unila, sehingga sistem tersebut bisa terimplementasi dengan baik.
“Kalau dari lokakarya tadi, ternyata SOP pengelolaan limbah di lab-lab sudah ada dan sudah terimplementasi, tetapi sistemnya belum menyatu ke lembaga di tingkat universitas, dalam hal ini adalah TPST, jadi masih per unit-per unit, terpisah. Maka, dari lokakarya ini harapannya nanti terbentuklah sistem di level lembaga, sehingga tidak terpisah-pisah lagi per unit,” papar Khotib.
Menurut dia, dengan sistem pengelolaan limbah B3 yang terintegrasi, maka pengelolaan limbah B3 di kampus menjadi lebih baik dan dapat menjadi model bagi kampus lain maupun instansi lain.
“Setelah sistem itu bagus, kampus akan menjadi role model sehingga menjadi pembelajaran baik untuk civitas akademika, instansi pemerintah, maupun masyarakat sekitarnya. Itu yang diharapkan dari kegiatan lokakarya ini, jangka panjangnya ya,” katanya.
Pengelolaan limbah B3 yang tersistem dengan baik juga menunjukkan komitmen kampus Unila terhadap SDGs dengan memperhatikan keberlanjutan dan perlindungan lingkungan dalam berbagai aktifitas di kampus.
Siap Kelola Limbah B3
Sementara, Ketua TPST Unila, Opik Taufik Purwadi mengatakan TPST siap mengelola limbah B3 dari lab-lab yang ada di kampus Unila. Menurutnya dari 128 laboratorium yang ada di Unila, sekitar 53 laboratorium menghasilkan limbah B3, seperti lab-lab di FMIPA, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik, dan Fakultas Kedokteran.
Berdasarkan SOP, ujar Topik, kepala laboratorium atau penghasil limbah B3 terlebih dahulu sudah mengidentifikasi limbah B3 dan mengemasnya dengan aman, memberi label, serta mencatat jumlah limbah.
“Setelah clear semua persyaratannya, baru menghubungi TPST untuk diambil, diangkut ke TPST dan disimpan. Lalu, TPST bekerja sama degan pihak ketiga untuk pengolahan dan pemusnahan limbah B3,” ujar Opik.
Dia mengatakan, selama ini pengelolaan limbah B3 masih terpisah di masing-masing laboratorium. Untuk membangun sistem yang terintegrasi, maka wesbite TPST akan dikembangkan lebih lanjut agar bisa diakses oleh semua pihak laboratorium dan unit yang ada di Unila.
“Sebenarnya sistemnya sudah ada, tapi belum terintegrasi, jadi nanti akan dikembangkan lagi supaya terintegrasi dengan semua lab yang ada di Unila,” tuturnya. (RIN/R-1)
Recent Comments