PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Lampung.
Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jarwadi mengatakan, konflik agraria atau konflik tanah di Lampung merupakan kasus lama sejak tahun 1980 dan 1990 an yang hingga kini tidak ada penyelesaiannya. Selama 2022 ini, LBH sudah mendampingi beberapa ribu pertani yang terlibat dalam konflik pertanahan di Lampung, diantaranya konflik tanah di Desa Malang Sari Lampung Selatan, daerah Waykanan, Tulangbawang, dan Pesawaran.
“Kami mendorong negara untuk bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, karena ini akan menjadi api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meletus dan menimbulkan konflik lebih besar, bahkan konflik horizontal,” ujar Sumaindra diwawancara usai Diskusi Publik tentang Kesejahteraan Petani Ditengah Konflik Agraria, di Kopi dan Mie Aceh Milasari, Bandar Lampung, Senin (26/9/2022)
Diskusi ini menghadirkan pembicara Dr. Budiono (Akademisi FH Universitas Lampung), Fuad Abdulgani (Akademisi FISIP Universitas Lampung), Wahrul Fauzi Silalahi (Anggota DPRD Provinsi Lampung), Irfan Tri Musri (Ketua Walhi Lampung), dan Sumaindra Jarwadi sendiri sebagai Direktur LBH Bandar Lampung. Panitia juga menghadirkan perwakilan warga Desa Malang Sari, Sugeng yang saat ini sedang berhadapan dengan mafia tanah.
Sumaindra mengatakan, di momentum Peringatan Hari Agraria dan Tata Ruang Nasional (HANTARU) ini, LBH menginiasiasi diskusi publik untuk membahas kasus-kasus konflik tanah yang ada di Provinsi Lampung, salah satunya adalah konflik tanah di Desa Malang Sari yang saat ini didampingi oleh LBH Bandar Lampung.
Menurutnya, ada sebanyak 34 KK di Desa Malang Sari yang saat ini berhadapan dengan mafia tanah, AM, seorang oknum jaksa yang mengklaim kepemilikan tanah dengan memiliki sertifikat dari BPN. Sementara, masyarakat yang sudah menempati 10 hektar lahan di desa tersebut sejak 1970, tidak pernah melakukan jual beli kepada orang tersebut, dan pemerintah desa juga tidak pernah mengeluarkan surat terhadap proses penerbitan sertifikat tanah itu.
“Perkembangkan terakhir dari Polda Lampung sudah ada proses tahap penyidikan, dan infonya sudah ada beberapa orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Secara prinsip, kami akan berkoordinasi dengan penyidik, sampai dimana perkembangan kasusnya, siapa-siapa yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan siapa-siapa saja yang dilakukan penahanan,” ujar Sumaindra.
Ketimpangan Penguasaan Lahan
Direktur Walhi Bandar Lampung, Irfan Tri Musri memaparkan tentang penguasaan ruang dan lahan oleh koorporasi baik untuk izin usaha perkebunan, izin usaha pertambangan, maupun izin pinjam pakai kawasan hutan sangat timpang sekali dengan jumlah lahan yang dikuasai masyarakat.
Secara nasional, jumlah lahan yang dikuasi oleh koorporasi lebih dari 20 juta hektar, sedangkan yang dikuasai masyarakat hanya berada di kisaran 3- 4 juta hektar.
“Ini ketimpangan yang sangat luarbiasa. Dan di Lampung, ketimpangan yang sama terjadi, misal pengelolaan kawasan hutan ada sekitar 118 ribu hekter lahan di kawasan hutan yang dikuasai oleh 5 atau 6 perusahaan, kita bandingkan dengan yang dikuasai masyarakat ada sekitar 193 ribu hekter yang dikuasai oleh puluhan ribu kepala keluarga. Kalau kita melihat keadilan antara ruang yang dikuasai oleh masyarakat dengan koorporasi sangat jauh,” urainya.
Secara proses, lanjutnya, ketika masyarakat ingin mendapatkan izin terhadap lahan juga sulit dan berbelit, bahkan diperlukan kebijakan khusus, misalnya untuk skema Perhutanan Sosial itu harus melalui Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan lainnya. Namun, pemberian izin kepada perusahaan lebih mudah, apalagi ditambah dengan lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja, semakin memudahkan koorporasi dalam mendapatkan izin lahan.
“Potensi ancaman terhadap lahan-lahan yang dikelola masyarakat akan semakin tinggi karena misal dalam UU Cipta Kerja dimana minimal batasan kawasan hutan 30% itu dihilangkan, sehingga potensi untuk pelepasan kawasan hutan atau peng-alihfungsi-an kawasan hutan itu akan terjadi di provinsi Lampung,” tuturnya.
Juga terkait pengaturan tata ruang daerah, atau tata ruang wilayah yang bisa dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, tanpa memperhatikan aspirasi dari masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang berpotensi konflik tersebut tentunya akan semakin menambah catatan kasus tanah.
Menurut Irfan, beberapa kasus agraria yang disoroti Walhi adalah konflik register 45 Mesuji, konflik di Tulangbawang antara masyarakat melawan PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL), Konflik PT Sugar Group Companies (SGC), termasuk konflik yang dialami masyarakat dengan pemerintah maupun masyarakat dengan perorangan, konflik di Waykanan antara masyarakat dengan oknum yang mengaku orangnya mantan Menteri Pertahanan.
“Kalau kita persentasekan, konflik lama yang berhasil diselesaikan itu tidak lebih dari 5%. Rata-rata kasus di Lampung ini kasus warisan zaman orde baru, secara historis dari 1980 dan 1990 an sudah terjadi dan tidak ada langkah penyelesaian. Jadi ibarat bom waktu, kapan mau meledak, kapan redup, kapan meledak lagi,” ujarnya.
Solusi Konflik Tanah
Irfan mendorong pemerintah menyelesaikan konflik tanah yang sudah berlarut-larut ini. Solusi konflik tanah tersebut dia bagi ke dalam tiga klaster, yaitu konflik pertanahan di lahan luar kawasan hutan, dalam kawasan hutan, dan konflik pengelolaan ruang laut.
Untuk konflik pertanahan di luar kawasan hutan, solusinya adalah pemerintah mencabut izin dan sertifikat yang sudah ada, dan mengembalikan tanah kepada rakyat melalui penerbitan sertifikat hak milik.
“Hari ini kan kebijakannya sudah ada, bisa melalui program tanah objek reforma agraria yang digaung-gaungkan Presiden 9,1 juta hektar di dalam nawacitanya,” kata Irfan.
Untuk konflik dalam kawasan hutan, harus dilihat seperti apa konfliknya dan bagaimana metode penyelesaiannya karena konflik di dalam kawasan hutan agak berbelit. Namun, penyelesaikan win-win solution dapat dilakukan melalui skema legalitas pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui Perhutanan Sosial.
“Itu yang sangat memungkinkan, tetapi terkait pelepasan kawasan hutan masih banyak pro dan kontra. Untuk kondisi di Lampung, ada 110 desa definitif dalam kawasan hutan, kalau satu desa saja dilepas, desa-desa yang lain pasti minta dilepas juga,” ungkapnya.
Solusi koflik pada ruang laut dapat diselesaikan dengan pemerintah tidak menerbitkan lagi izin-izin perusahaan pertambangan di wilayah laut Provisi Lampung.
“Karena memang konflik wilayah laut ini antara nelayan dengan pengusaha pertambangan seperti di Tulangbawang, Lampung Timur, dan Lampung Selatan,” ujarnya.
Sementara, Anggota DPRD Lampung, Wahrul Fauzi Silalahi menyatakan menerima semua pengaduan masyarakat terkait konflik pertanahan di Provinsi Lampung dan akan diperjuangkan di DPRD.
“Kami terima pengaduannya dan akan kami perjuangkan dan tindaklanjuti di DPRD,” tegasnya. (RINDA/R-1)
Recent Comments