PORTALLNEWS.ID (PESAWARAN) – Langit di atas laut Sari Ringgung mulai gelap. Para pengunjung serta petugas wisata Pantai Sari Ringung satu persatu beranjak pergi. Suasana yang semakin lengang membuat debur ombak terdengar garang.
Di ujung dermaga Pantai Sari Ringgung berdiri seorang perempuan paruh baya bertopi hitam. Celana kulot putihnya melambai-lambai di tiup angin pantai. Pandangan matanya nanar menembus ke seberang, Pulau Tegal, Desa Gebang, Telukpandan, Pesawaran.
Desau angin membisikkan celoteh dan ‘mimpi-mimpi’ anak-anak Pulau ke telinganya. Uniroh tersenyum. Di Pulau itu, dia menemukan makna dan arti penciptaannya.
Cahaya langit menembus
bumi….
terindah termakna dan tertanam
keindahan semu tak pernah pudar……
Cahaya langit menembus bumi…..
terasa, termakna…..
refleksi terbaca………
Tuhanku Engkau Maha Tahu
segala urusan dunia….
Tak pernah keliru menebar cahaya
di tempat yg Kau mau..
Bolehkah cahaya itu untukku…..?
Wahai Tuhanku ……..
Doaku , harapku, ku sandarkan hanya pada Mu.
(Uniroh Utami, 2 September 2017)
Getaran Pandangan Pertama
Bermula pada September 2016, Uniroh Utami tidak pernah tahu, kehadirannya pada kegiatan bakti sosial yang digelar Polairut Polda Lampung di Pulau Tegal akan mengantarnya kepada pengabdian yang sesungguhnya.
Uniroh diajak oleh Camat Telukpandan, Muhammad Yuliardi untuk menjadi MC pada acara tersebut. Di tengah keriuhan suasana bakti sosial yang disesaki warga, pandangannya sulit lepas dari keliaran anak-anak usia sekolah berbaju dekil dan berkulit hitam dibakar matahari.
“Apakah anak-anak ini tidak bersekolah?” gumamnya.
Tanyanya itu tidak pernah usai, hingga beberapa awak media mewawancarai salah satu warga Pulau Tegal, Pak Basri yang selama ini mendedikasikan dirinya untuk mengajar membaca dan menulis anak-anak di Pulau tersebut.
Uniroh terhenyak ketika mengetahui Pak Basri hanya lulusan SD, dan warga menganggap belajar menulis dan membaca cukup untuk menggantikan sekolah.
Seketika, tawa riang anak-anak Pulau yang berlalu lalang di depannya menyenderanya. Betapa lugunya mereka, betapa polosnya hingga tidak berdaya beranjak dari takdir yang ada. Uniroh yang menjadi guru sejak 1989 itu merasa miris.
Kondisi anak-anak Pulau yang tidak mendapatkan hak pendidikan sebagaimana mestinya menggetarkan jiwanya.
“Inilah yang membuat saya bertekad untuk memberikan pendididikan yang sebenarnya kepada anak-anak di Pulau Tegal,” ujar Uniroh dalam perbincangan panjang kami menghabiskan siang, Rabu (6/9/2017).
Ketika itu, pendidikan anak-anak di Pulau Tegal menjadi fragmen buram pendidikan di Bumi Ruwa Jurai.
Menyalakan ‘Suluh’
Ingatan Uniroh sulit lepas dari kondisi anak-anak Pulau Tegal. Dia kerap berpikir, kalau tidak dimulai, sampai kapan anak-anak Pulau Tegal bebas dari kegelapan?
Akhirnya, Uniroh yang juga Kepala SMPN 25 Pesawaran itu mengajak salah satu guru honornya, Desta Sagita untuk menjadi guru sukarelawan mengajar anak-anak di Pulau Tegal.
Berdua, mereka mulai menyalakan ‘suluh’ di Pulau Tegal. Keinginan baik itu tidak seindah yang dibayangkan. Masyarakat Pulau yang sudah terbiasa menjadi objek sesaat, separuh hati menerima kehadiran guru relawan.
Penduduk Pulau sudah terbiasa didatangi para relawan yang kemudian pergi. Keesokkanya akan datang lagi relawan dari kelompok berbeda, dan pergi lagi.
Pulau Tegal hanya menjadi tempat singgah, tanpa ada yang benar-benar konsisten memberi perubahan pada Pulau yang berjarak 45 menit dari Ibukota Bandar Lampung ini, hingga kemudian berdiri Sukarelawan Peduli Pendidikan Pulau Tegal (SP3T) Lampung pada medio September 2016.
“Pertamakali mengajar disana, saya tidak ditegur sama ibu-ibu. Tapi saya cuek aja, tujuan saya mengajar anak-anak, biarkan saja saya didiamin nggak apa-apa, jadi saya juga hanya menegur anak-anak aja,” tutur istri Cucu Sutarsyah ini menapak tilas perjuangannya.

Mengarung Laut Pulau Tegal
Perjuangan menyeberang Pulau juga meninggalkan kenangan tersendiri. Para tukang perahu yang terbiasa mengantarkan wisatawan menyeberang ke Pulau Tegal memberikan harga sama untuk mereka, Rp250 ribu sekali menyeberang.
Ongkos ini tentu sangat memberatkan guru relawan. Akhirnya mereka terpaksa blusukan ke muara di Gebang dan naik kapal nelayan dengan ongkos Rp100 ribu.
“Para guru relawan SP3T sangat luar biasa, mereka melewati semak dan lumpur untuk menuju muara mencari perahu nelayan demi menyeberang mengajar anak-anak di Pulau Tegal,” kata Uniroh.
Sokongan Para Sahabat
Di Pulau Tegal belum ada fasilitas pendidikan yang layak. Saat itu, para guru SP3T mengajar di Rumah Belajar seluas 4×8 meter persegi yang disekat sebagian untuk menjadi tempat tinggal Pak Basri bersama istri dan empat anaknya.
Melihat kondisi itu, Uniroh tergugah untuk membangunkan rumah untuk Pak Basri.
Dia lalu menyisir nomor telpon sahabat-sahabatnya di masa SMA yang sebagian besar sudah sukses. Kepada merekalah, Uniroh mengadu.
Beruntung, hubungan baik yang selama ini dijalin menjadikan Uniroh dipercaya oleh sahabat-sahabatnya. Dari sumbangan para sahabatnya itulah Uniroh membangun rumah papan untuk tempat tinggal keluarga Pak Basri.
“Itu sekitar dua bulan setelah berdirinya SP3T. Alhamdulillah, setelah membangun rumah buat Pak Basri ini, kepercayaan dari masyarakat mulai tumbuh. Mereka mulai ramah dan menyapa kami,” ujar Uniroh.
Pembelajaran mulai berjalan lancar. Guru SP3T hadir ke pulau dua kali seminggu. Uniroh kemudian mengajak satu lagi guru honornya untuk menjadi relawan, Tri Septiana yang juga anggota Jalasenastri (istri TNI AL, Yon 9 Brigif 3 Marinir Piabung).
Hingga kini, guru SP3T menjadi enam orang, tiga lainnya adalah Indri Kusuma (istri marinir), Nurtaslihatul Amalia, dan Sri Haryani. Dengan enam guru ini, pembelajaran di Pulau Tegal pun semakin rutin, 4 kali dalam seminggu.
Magnet Pulau Tegal
Konsistensi Uniroh sebagai Ketua SP3T memperjuangkan hak pendidikan anak-anak Pulau Tegal menjadi magnet yang menarik kepedulian banyak pihak.
Pendidikan di Pulau Tegal pun mulai bersolek. Pulau yang terisolasi ini tidak hanya mendapatkan bantuan fasilitas Rumah Baca, Renovasi Rumah Belajar, pembangunan MCK, tapi kini juga sudah diterangi oleh aliran listrik.
Secara teknis, semua kegiatan SP3T, mulai dari peretasan jalan ke Pulau hingga pembangunan inftrastuktur didampingi dan dibantu oleh Yon 9 Marinir Piabung.
“Saya sangat bersyukur, kini sudah banyak pihak yang peduli dan terlibat dalam perubahan di Pulau Tegal. Ada Yon 9 Marinir, Lazdai Lampung, Rumah Zakat Jakarta, Baznas Pusat, Perpustakaan daerah, dan kemarin anggota DPD RI asal Lampung Pak Ahmad Jajuli menyatakan komitmen untuk menjadi donatur memberikan honor bagi enam guru SP3T,” tuturnya.
Setahun meretas pendidikan di Pulau Tegal, kini Uniroh bisa bernafas lega. Walau masih tersisa PR jangka panjang yang harus dia perjuangkan.
Menurutnya, dengan kondisi sekarang, fasilitas pendidikan di Pulau Tegal sudah cukup memadai. Namun, Uniroh berpikir tentang keberlanjutan para guru relawan.
“Apakah mungkin mereka mau selama-lamanya menjadi relawan? Saya kuatir, suatu saat mereka lelah, dan berhenti, maka Pulau Tegal akan kembali terisolasi,” ujarnya lirih.
Untuk itu, Uniroh sangat berharap kepada pemerintah untuk memikirkan nasib para guru sukarelawan Pulau Tegal. “Semoga para guru ini nanti bisa masuk menjadi guru garis depan yang diprogramkan oleh pemerintah.” (RINDA/R-1)