Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Senja itu tidak biasanya duduk di teras memandang ke arah matahari terbenam. Tampak semburat merah jingga. Dan, almarhumah Ibu dulu berkata “itulah namanya Candikolo”. Namun, sejatinya bagi masyarakat Jawa, candikolo bukan cuma soal langit merah di waktu senja. Ia adalah simbol, dan juga adalah pesan. Candikolo adalah momen hening yang diam-diam berbicara tentang hidup, batas, dan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu sebenarnya di dalam candikolo, kita tidak hanya melihat keindahan langit, tetapi kita dihadapkan pada diri kita sendiri.
Secara sederhana, candikolo adalah istilah Jawa, yang merujuk pada waktu senja, saat matahari mulai turun, langit mulai memerah, dan bayang-bayang malam mulai datang. Tapi bagi banyak orang tua zaman dulu, candikolo bukan sekadar waktu. Ia adalah waktu rawan; waktu di mana anak-anak harus segera masuk rumah. Waktu di mana “hal-hal yang tak terlihat” mulai berkeliaran.
Berdasarkan telusuran digital ditemukan informasi dalam bahasa Jawa, candikolo berasal dari kata “sandya kala”; yang berarti waktu peralihan, waktu antara siang dan malam. Dalam filsafat Timur, momen-momen seperti ini sering dipandang sebagai waktu sakral: ketika batas dunia manusia dan dunia gaib menjadi tipis. Namun kalau kita melihatnya dari sudut pandang filsafat manusia, candikolo justru mengajak kita merenung: apa arti menjadi manusia dalam waktu yang terus bergerak.
Filsuf Jerman, Martin Heidegger, pernah berkata bahwa manusia itu unik karena sadar akan kematiannya. Kita hidup, tetapi tahu bahwa suatu hari akan mati. Itulah yang membedakan kita dari makhluk lain. Candikolo, dengan langitnya yang merah dan suasananya yang syahdu, seperti alarm alam yang mengingatkan kita bahwa setiap terang pasti akan gelap. Hari yang panjang pasti berakhir. Hidup yang sibuk pasti menua. Di balik pemandangan yang indah, ada bisikan: “waktu kita terbatas”. Itulah sebabnya banyak orang merasa melankolis saat melihat senja. Tanpa sadar, kita sedang “bertemu” dengan ke-fanaan. Dan itu bukan sesuatu yang menakutkan, akan tetapi justru yang membuat hidup terasa berarti. Sebab saat senja tiba, dunia seperti melambat. Aktivitas mulai reda, cahaya meredup, dan suara menjadi lebih pelan. Dalam momen ini, manusia seolah diajak untuk berhenti sejenak.
Carl Jung, tokoh psikologi yang juga banyak bicara tentang makna-makna simbolik dalam budaya, percaya bahwa manusia butuh waktu untuk melihat “bayangan”-nya sendiri terutama bagian-bagian diri yang selama ini ditutupi rutinitas. Candikolo bisa menjadi waktu untuk kita merenung: Sudahkah aku hidup dengan jujur? Sudahkah aku menjadi manusia yang baik? Atau justru aku bersembunyi di balik cahaya?
Di banyak daerah di Indonesia, candikolo bukan hanya waktu reflektif. Ia juga penuh cerita. Ada yang bilang jangan bersiul di waktu senja. Jangan duduk di depan pintu saat candikolo. Jangan keluar rumah. Bahkan agama mengajarkan saat seperti ini untuk segera menutup pintu dan jendela, serta melarang anak-anak bermain di luar rumah; Karena diyakini, saat candikolo adalah saat “makhluk lain” berkeliaran.
Hal serupa ini bukan sekadar cerita kosong. Ia adalah bahasa simbolik untuk menyampaikan nilai. Dan nilai di balik candikolo adalah: kehati-hatian, kewaspadaan, dan kesadaran.
Candikolo itu “antara.” Bukan siang, bukan malam. Bukan terang, bukan gelap. Dalam filsafat, momen seperti ini disebut “liminal space”, yaitu ruang antara dua keadaan. Dan ruang seperti ini selalu menarik, karena disanalah identitas kita diuji. Fase ini disebut sebagai fase peralihan yang tidak nyaman, tapi justru membentuk kita menjadi lebih kuat. Filsafat manusia mengajarkan: dalam ketidakpastian itulah kita bertumbuh. Dalam candikolo-lah kita belajar tentang arah.
Hari ini, candikolo tak lagi disambut hening. Banyak dari kita justru melewatkan senja sambil scroll TikTok atau buru-buru pulang kerja. Senja kini sering tampil hanya sebagai latar belakang foto; bukan lagi sebagai ruang hening untuk merenung. Padahal, justru di zaman yang serba cepat ini, kita makin butuh candikolo. Bukan candikolo sebagai jam, tapi candikolo sebagai sikap hidup untuk berhenti sejenak. Untuk menyadari bahwa kita tak akan selalu muda, sehat, sibuk. Untuk menyadari bahwa diam juga bagian dari hidup. Jadi, jika suatu hari saat kita pulang di waktu senja, dan langit terlihat merah membara, coba berhentilah sejenak. Mungkin, di sana, kita akan bertemu dengan diri kita yang sebenarnya. Bahkan ada Guru Bijak berpesan “Guru sejatimu ada dalam dirimu, temuilah dia dalam hening. Maka dia akan mampu memberi pemahaman tentang rahasia Tuhanmu”.
Salam Waras (R-1)