Oleh: Sudjarwo, Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan
PORTALLNEWS.ID – Akhir-akhir ini dunia pendidikan menjadi sorotan oleh karena munculnya peristiwa-peristiwa pendidikan yang tidak mendidik. Beberapa waktu lalu media sosial digemparkan oleh peristiwa anak Sekolah Dasar kelas enam, didaerah yang masih sangat menjunjung tinggi adat dan adab, menghardik gurunya dengan umpatan tidak sopan.
Nun jauh di sana juga; di kota budaya yang masyarakatnya dikenal sangat menjunjung tinggi kebudayaan, ada guru besar yang dilorot kegurubesarannya. Di tempat lain lagi, ada undangan untuk para pendiri suatu organisasi profesi, tidak disampaikan oleh yang diberi amanah, sampai-sampai harus mengumpulkan para delegasi ditengah malam, hanya menginstruksikan agar satu bahasa; peserta yang bergelar doktor bahkan guru besar dianggap anak taman kanak-kanak.
Belum lagi pimpinan lembaga yang tampaknya “Baper” karena harus menandatangani keputusan yang tidak jadi diputuskan, sebab merasa yang akan menerima keputusan itu dianggap bersalah karena tidak berbuat salah.
Pusaran-pusaran itu jika kita telisik dimedia masa akan semakin banyak dan membuat kepala makin berdenyut.
Setaut dengan itu ada dua media sosial nasional yang menulis tentang tergerusnya nilai-nilai keakademikan yang melekat pada orang dan lembaga.
Media pertama tulisan berjudul “Mengembalikan Marwah Profesor”; mempersoalkan penyimpangan norma akademik yang disandang, kemudian berbelok kenorma kehidupan bernegara; hal ini ditandai dengan hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum, bukan masalah perbedaan atau mempertahankan nilai luhur keilmuan sebagai guru besar, tetapi lebih kepada kebendaan duniawi yang berkelindan dengan kekuasaannya.
Media kedua yang menerbitkan tulisan berjudul “Kebergunaan ilmuwan”, yang ditulis oleh salah seorang pimpinan perguruan tinggi keagamaan, menggugat peran sosial dari para ilmuwan akan masyarakat sekitarnya. Tulisan kedua ini sangat menohok bagi para ilmuwan karena berisi peringatan yang mengingatkan kembali akan tanggungjawab ilmiah bagi seorang ilmuwan, yang sangat berbeda dengan bidang lain.
Tulisan ini mengutip pendapat Robert K Merton yang mengingatkan agar ilmuwan bersikap disinterestness yang diterjemahkan ketidakberpihakan, termasuk tidak berpihak kepada suasana hati, saat menegakkan kebenaran; karena dasarnya adalah sikap ilmiah akademik, bukan personal.
Sisi lain ada kecenderungan pihak penguasa atau yang sedang berkuasa, selalu mencari pembenaran dari apa yang diputuskan atau dilakukan. Hal seperti ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama; dalam catatan sejarah Gereja yang menjatuhkan vonis bahwa Galileo harus ditahan di Siena; bahkan ada sumber menyebutkan beliau diharuskan minum racun karena mengatakan temuannya berbeda dengan keyakinan yang hidup selama ini di tengah masyarakat. Hanya bedanya sekarang “racun” yang harus diminum adalah berupa kebijakan yang pembenarannya dibenar-benarkan oleh penguasa atau yang sedang berkuasa.
Sikap ilmiah yang harus mengatakan kebenaran dengan tetap berlaku santun, tampaknya sudah saatnya digaungkan. Walaupun pada prakteknya banyak diantara kita menggunakan dalil “selemah-lemah iman adalah mencegahnya dalam hati” , adalah katarsis paling aman, terutama untuk menyelamatkan periuk nasi. Oleh karena itu tidak heran banyak ilmuwan hanya berguman saja saat melihat ketidakbenaran, untuk menulispun tidak berani karena akan berdampak pada banyak hal dalam kehidupannya.
Pemerintah atau yang sedang memerintah tidak pernah salah, jika salah itu adalah kesalahan.
Oleh karena itu kita selalu dihadapkan kepada pembenaran, bukan menemukan kebenaran; tentu saja pembenaran ini akan dipertahankan mati-matian dengan diberi label atas nama ”nama baik lembaga”. Apalagi itu berkaitan dengan kebijakkan, maka kesalahbijakkanpun menjadi benar adanya. Siapa yang mempersoalkan berarti tidak patuh kepada pimpinan, dan ini adalah payung paling ampuh untuk melindungi pimpinan dari kesalahan. Orang bijak sudah mengingatkan bahwa “buruk muka cermin dibelah”; bukannya muka yang harus dihias, akan tetapi cerminnya yang harus diganti.
Bisa jadi nasib itu menimpa tulisan ini, karena tidak sependapat dengan apa yang ditulis, lalu berkomentar “tulisan ini bahasanya kasar”, atau ditulis oleh orang yang kurang kerjaan, atau banyak lagi, terutama mereka yang merasa diri ada pada pihak yang ditulis; pada hal sumber ulasan sebagai sumber tulisan; belum pernah dibaca, atau tidak pernah membaca. Semoga Tuhan selalu memberikan petunjuk kepada kita untuk membaca dengan benar, karena perintah Tuhan kepada kita pertama kali melalui rasulNYA adalah “Bacalah”. (R-1)
Recent Comments