Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Beberapa hari lalu bersama dengan seorang Doktor yang dulu pernah menjadi mahasiswa bimbingan, berdiskusi tentang kemajuan teknologi “pelacak data” yang begitu pesat perkembangannya. Sampai-sampai kami berdua merasa miris sekali melihat situasi perkembangan teknologi ini. Bisa dibayangkan jika seorang mahasiswa menguasai sejumlah perangkat yang berbasis Artificial Intelligence (AI); semua tugas termasuk tugas akhir bisa dikerjakan dalam waktu sesingkat-singkatnya tanpa melalui proses pemahaman dan pengendapan. Sementara jika ada dosen yang gagap teknologi, maka dia akan dijadikan bulan-bulanan mahasiswanya. Tampaknya generasi sekarang diberikan banyak kemudahan, namun kemudahan itu bisa jadi memupuk kemalasan.
Sebelum lebih jauh bahasan ini diteruskan, sebaiknya kita mengenal dulu filosofinya. Dari berbagai sumber ditemukan informasi bahwa filsafat dari Artificial Intelligence (AI) di dunia perguruan tinggi merupakan topik yang luas dan menarik, karena melibatkan banyak aspek—etika, epistemologi, ontologi, dan tujuan pendidikan itu sendiri. Berikut beberapa pendekatan filosofis yang bisa dipakai untuk memahami peran dan dampak AI di lingkungan akademik:
1. Dari sudut Filsafat Etika: Moralitas Penggunaan AI
Pertanyaan utama: Apakah penggunaan AI dalam pendidikan itu etis? Plagiarisme dan keaslian karya: Apakah menggunakan AI untuk membuat esai atau skripsi mengurangi nilai kejujuran akademik?.: Apakah AI memperkuat ketimpangan atau diskriminasi dalam seleksi mahasiswa, penilaian, atau penelitian?. Apakah data mahasiswa dan dosen aman dari pelanggaran etika dan penyalahgunaan?.
Semua ini memerlukan diskusi akademik yang tidak mudah untuk diurai. Tentu pertanyaan-pertanyaan menjadikan perenungan yang dalam bagi mereka yang sangat menjunjung tinggi etika moral akademik.
2. Dari sudut Epistemologi: Cara AI Mengubah Pengetahuan
Pertanyaan utama: Apa makna pengetahuan jika mesin bisa “menghasilkan” jawaban?.AI menantang definisi tradisional “pengetahuan sebagai hasil berpikir manusia”. Tentu perubahan sudut pandang ini akan menggoyahkan sendi-sendi akademik yang selama ini cenderung mapan dan baku.
Berikutnya apakah AI hanya mereplikasi pengetahuan, atau bisa menciptakan bentuk pengetahuan baru?. Tentu akibatnya akan dilanjutkan dengan pertanyaan : Apa peran dosen dan mahasiswa jika AI bisa “mengajar”?. Sulihganti peran seperti ini tampaknya akan melanda dunia akademik secara masif; karena bimbingan dosen tinggal legalitas formal, sementara pelaksanaan pembimbingan diambil peran oleh AI. Demikian halnya dengan perpustakaan, tidak lagi harus berkunjung secara fisik mendatangi gedung, akan tetapi cukup berselancar di perpustakaan digital yang sudah berserak di mana-mana pada dunia maya.
3. Dari sudut Ontologi: Hakikat Kecerdasan dan Pembelajaran
Pertanyaan utama: Apakah kecerdasan buatan benar-benar “cerdas”?. Dalam konteks perguruan tinggi: Apakah AI bisa memiliki pemahaman holistik seperti manusia?. Dan, apakah AI dapat mengembangkan makna dan nilai dari sebuah ilmu?. Semua ini menggantung di dunia filsafat yang sekarang seolah mendapatkan tantangan baru, terutama filsafat ilmu dan etika. Diskusi-diskusi akademik pada beberapa dekade ini dikalangan penggiat filsafat tampaknya semakin seru dan menarik, terutama pada tataran “memanusiakan manusia melalui ilmu, mengilmukan manusia melalui etika ilmu” dan masih banyak lagi yang berkembang. Semua ini akibat ilmu pengetahuan sudah sampai melahirkan AI, sementara AI sendiri bebas nilai.
4. Dari sudut Filsafat Pendidikan: Tujuan Pendidikan Tinggi
Pertanyaan utama: Apakah tujuan pendidikan hanya untuk memperoleh informasi, atau juga untuk membentuk karakter, nalar, dan nilai?. AI dapat mempercepat akses informasi, tetapi: Bagaimana dengan pembentukan manusia seutuhnya (karakter, empati, kebijaksanaan)?. Oleh karena itu Dosen bukan hanya sumber pengetahuan, tapi juga pembimbing etika dan pemikiran kritis, dan peran ini untuk sementara sulit digantikan oleh AI.
5. Dari sudut Teknologi sebagai Cermin Peradaban
Dalam pandangan Heidegger atau Postman, teknologi bukan netral. AI membentuk cara berpikir, belajar, dan hidup kita. Jika kampus terlalu tergantung pada AI, apakah kita sedang mengarahkan pendidikan ke arah yang lebih mekanistik dan pragmatis, bukan yang humanistik?. Tampaknya falsafah hidup dalam bernegara ikut memberi kontribusi kearah mana semua itu akan tertuju. Apakah kepragmatisan akan menggerus humanis, atau humanis yang akan memberi warna kepada kepragmatisan. Tentu jawabannya tidak sesederhana sebagaimana halnya membalikkan telapak tangan. Perlu diskusi panjang dan dilakukan secara serius, serta berkelanjutan.
Pertanyaan terakhir sudah siapkah perguruan tinggi sebagai banteng moral etika akademik menyongsong datangnya perubahan ini. Regulasi apa yang harus dipersiapkan sehingga proses pembelajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat; mendapatkan dampak positif akan kehadiran AI; sekaligus menanggulangi dampak negative yang diakibatkan oleh kehadirannya.
Salam Waras (R-1)
Recent Comments