Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Beberapa waktu lalu Mas Heri Wardoyo (HRW) mengirimkan tulisan “Palu, Paku dan Dunia”; yang bersumber dari perenungan membaca karya Abraham Maslow (AM). Kebetulan tokoh ini sangat familiar untuk saya karena ada tulisan monumental yang sampai hari ini menjadi rujukan para ilmuwan dunia yaitu tentang Teori Motivasi. Seolah HRW dan AM bagai “tumbu oleh tutup” (istilah Jawa, tumbu adalah wadah kecil dari anyaman bambu, biasanya untuk menyimpan makanan. Tutup, adalah penutup yang pas untuk tumbu tersebut. Terjemahan bebasnya, pasangan yang cocok satu sama lain atau jodoh yang serasi). Dan, tentu saja tulisan seorang jurnalis senior sekaliber HRW membahas AM seolah juga bagai itik bertemu air, maka akan berselancar sukaria.
Berdasarkan pemahaman itu, tulisan ini akan mencoba melihat dari sudut pandang lain, yaitu dikaitkan dengan filosofi “Berubah atau Mengubah”. Berdasarkan sejumlah sumber literatur digital ditemukan informasi bahwa hubungan antara filsafat “Palu dan Paku” dengan konsep “Berubah atau Mengubah” sangat erat dan sangat filosofis—keduanya menyentuh cara manusia menghadapi realitas dan memilih bertindak terhadapnya.
Filsafat “Palu dan Paku”
Konsep “Palu dan Paku” menggambarkan, jika satu-satunya alat yang kamu punya adalah palu, semua masalah tampak seperti paku. Artinya, seseorang cenderung mengubah dunia agar cocok dengan dirinya, bukan mengubah diri agar cocok dengan dunia. Ini adalah pola pikir mengubah lingkungan secara paksa, bukan berubah dari dalam.
Konsep Berubah atau Mengubah
Berubah adalah transformasi internal, adaptasi, refleksi, dan pertumbuhan diri. Sedangkan mengubah adalah usaha untuk mengendalikan atau mengintervensi lingkungan, orang lain, atau situasi eksternal.
Inti gagasannya adalah orang yang hanya punya “palu” sering gagal berubah (mengembangkan keterampilan, perspektif, empati), dan malah berusaha mengubah dunia agar sesuai dengan alat yang dimiliki. Ini bisa berbahaya—misalnya, menyelesaikan konflik emosional dengan kekuatan atau otoritas karena tidak punya alat komunikasi.
Sebaliknya, kesadaran bahwa tidak semua masalah adalah paku, mendorong seseorang untuk berubah lebih dulu—membangun lebih banyak alat, memperluas cara berpikir, dan akhirnya menjadi agen perubahan yang lebih bijak.
Pembahasan filsafat “Palu dan Paku” agar lebih mendalam bisa dilakukan dengan membedahnya dalam kerangka ontologi, epistemologi, dan aksiologi—tiga cabang utama dalam filsafat.
Dari aspek Ontologi—Hakikat Realitas dan Manusia. Pertanyaannya? Apa hakikat masalah dan alat dalam kehidupan manusia?. Apakah dunia memang terdiri dari paku yang siap dipukul?. Jawabannya adalah, secara ontologis, “Palu dan Paku” menyimbolkan reduksionisme realitas—dimana seseorang melihat dunia secara sempit, menyederhanakan kompleksitas kehidupan menjadi sesuatu yang bisa ditangani oleh satu alat atau cara. Ini mengaburkan hakikat realitas yang majemuk. Filsafat eksistensial seperti dari Heidegger atau Kierkegaard akan melihat ini sebagai kegagalan manusia untuk autentik—karena ia tidak menyelami realitas dengan penuh tanggung jawab, tetapi memilih “alat siap pakai” tanpa pertimbangan eksistensial.
Dari aspek Epistemologi—Cara Mengetahui dan Berpikir. Pertanyaannya, bagaimana seseorang membangun pemahaman terhadap masalah?. Mengapa seseorang cenderung memilih satu alat untuk semua masalah?. Jawabannya adalah, dari sisi epistemologi, “Palu dan Paku” mencerminkan bias kognitif atau kerangka berpikir tetap (fixed mindset). Seseorang belajar secara sempit dan tidak terbuka terhadap pengetahuan baru. Dalam epistemologi pragmatis, seperti dari John Dewey, kita diajak untuk memperluas “alat berpikir” berdasarkan pengalaman. Dalam konteks ini, seseorang yang selalu membawa palu adalah orang yang tidak belajar dari pengalaman, dan tidak membangun keragaman cara berpikir atau pendekatan (inquiry-based thinking).
Dari aspek Aksiologi – Nilai dan Etika Tindakan. Pertanyaannya, apa nilai dari terus-menerus menggunakan palu?. Apakah etis memaksakan alat kita ke masalah yang berbeda? Jawabannya adalah: Secara aksiologis, penggunaan “palu” secara sembarangan menunjukkan pendekatan instrumentalis terhadap dunia—melihat segalanya sebagai objek untuk dikendalikan, bukan untuk dipahami. Ini bisa melahirkan tindakan tidak etis, terutama dalam relasi sosial. Filsuf seperti Emmanuel Levinas akan mengkritik ini karena mengabaikan wajah orang lain sebagai subjek. Orang yang selalu memegang palu mungkin cenderung mengobjekkan orang lain, alih-alih mendengarkan dan berdialog.
Apa kaitannya dengan Konsep Berubah atau Mengubah?
Berubah (transformasi diri): Melalui proses ontologis (menyadari kompleksitas realitas), epistemologis (memperluas cara berpikir), dan aksiologis (menimbang nilai dan etika), seseorang keluar dari perangkap “palu dan paku”.
Mengubah (transformasi eksternal), hanya akan bijak dilakukan jika seseorang sudah mengalami transformasi internal terlebih dahulu.
Filsafat “Palu dan Paku” bukan sekadar sindiran kognitif, melainkan kritik atas kegagalan manusia dalam menjalani kehidupan secara utuh dan reflektif. Ia menyentuh soal kemandekan eksistensial, kebuntuan kognitif, dan kekeliruan etis dalam menghadapi dunia.
Pertanyaan “Berubah atau Mengubah?” adalah pertanyaan eksistensial dan etis—dan ketika kita menghubungkannya dengan filsafat Palu dan Paku, muncul gambaran yang sangat kuat tentang pilihan cara manusia merespons dunia: apakah dia akan berubah dari dalam, atau memaksakan perubahan ke luar berdasarkan cara pandangnya yang terbatas.
Ketika kita menghadapi dunia hanya dengan satu alat (cara berpikir, strategi, kepercayaan, ideologi), maka kita cenderung mengubah lingkungan secara paksa agar sesuai dengan alat tersebut. Menolak untuk berubah secara internal karena itu lebih menantang secara psikologis dan eksistensial. Dalam filsafat transformasi diri (seperti dalam pemikiran Kierkegaard, Paulo Freire, atau Carl Jung), berubah lebih penting sebagai tahap awal, karena perubahan eksternal yang bijak hanya mungkin lahir dari kesadaran dan perubahan diri terlebih dahulu.
Kesimpulannya adalah; Palu dan Paku adalah metafora keterbatasan. Dan pilihan untuk “Berubah atau Mengubah” adalah ujian dari kedewasaan berpikir. Filsafat menantang kita untuk bertanya: Apakah aku menghadapi dunia dengan satu alat, ataukah aku cukup rendah hati untuk memperluas cara berpikirku?. Tentu jawabannya kembali kepada kejernihan dan kebeningan hati dalam melihat segala persoalan yang ada di dunia ini.
Salam Waras. (R-1)
Recent Comments