Direktur LBH Bandar Lampung, ChandraMuliawan S.H., M.H., C.L.A.
Tahun 2020 menjadi tantangan besar yang dihadapi Rakyat Indonesia. Selama tahun 2020 nuansa yang kental terlihat dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia adalah adanya inkonsistensi negara dalam mewujudkan terciptanya situasi masyarakat yang terjamin serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusianya.
Inkonsistensi ini tercipta karena ketidaksejalanan antara pembangunan produk peraturan perundang-undangan yang secara tegas telah memberikan jaminan hak asasi warga negara dengan aplikasi penegakan HAM oleh Negara.
Pada tingkatan normatif, negara menjamin hak asasi warga negara, Indonesia telah meratifikasi dua Kovenan Internasional yaitu Kovenan Sipol (UU 12 Tahun 2005) dan Kovenan Ekosob (UU 11 Tahun 2005). Namun, pada saat yang bersamaan negara juga telah mengingkari kewajibannya untuk memenuhi (to Fulfill) dan melindungi (to Protect) hak asasi manusia warga negara.
Sampai dengan hari ini masih saja terlihat banyaknya fakta di lapangan terjadi berbagai pelanggaran HAM baik itu hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya. Permasalahan tersebut mewarnai dinamika kehidupan masyarakat diberbagai sektor, hal ini pun dapat dilihat dari berbagai kasus baik yang terjadi di nasional maupun di Provinsi Lampung.
Bahwa dalam penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, pemerintah telah gagal dan tidak ada ketegasan terhadap komitmen pemenuhan dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia. Terbukti bagaimana kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang satupun belum mampu dituntaskan.
Seperti kasus tragedi Talangsari, Lampung Timur maupun tragedi UBL Berdarah di Provinsi Lampung. Para korban Pelanggaran HAM membutuhkan keadilan dan menuntut agar pelaku pelanggaran HAM untuk segera diadili secara hukum.
Selain itu negara dalam hal ini pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah abai terhadap pemenuhan hak-hak korban yang sampai saat ini tidak pernah tersentuh oleh tangan hangat penguasa, bahkan telah terjadi pembiaran oleh negara.
Dimasa Pandemi Covid-19, pemerintah dan DPR RI telah mengesahkan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang mendapat banyak penolakan di berbagai daerah karena UU Cipta Kerja dianggap hanya menguntungkan pihak pengusaha dan diduga berpotensi untuk pengrusakan lingkungan yang sangat besar.
Di Provinsi Lampung penolakan terhadap UU Cipta Kerja juga gencar dilakukan oleh masyarakat sipil, mahasiswa dan buruh pada tanggal 7-8 Oktober 2020.
Terkait penolakan terhadap Omnibus Law tersebut berbagai intimidasi dan perlakuan represif yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada saat aksi #mositidakpercaya pada 7 Oktober 2020.
Tercatat ada 19 orang (terdiri dari mahasiswa, pelajar, dan masyarakat sipil) yang di “amankan” pihak Kepolisian. Kemudian pada 8 Oktober 2020 sebelum sampai ketitik aksi pihak Kepolisian melakukan sweeping atau penghalangan menuju titik aksi. Kepolisian mengamankan 248 orang dan memulangkan 243 orang di antaranya karena unsur-unsur pidana tidak terpenuhi.
Mereka dikumpulkan disatu titik tanpa adanya protokol kesehatan yang justru selama ini pihak kepolisianlah yang menggalakkan arti pentingnya protokol kesehatan.
Tindakan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian bukanlah untuk mengamankan jalannya aksi, namun untuk melemahkan gerakan-gerakan yang sudah dibangun dalam hal menyampaikan pendapat dimuka umum.
Selain itu banyak tindakan represif yang dilakukan oleh kepolisian hingga menyebabkan peserta aksi luka-luka, bahkan sampai menyasar pada masyarakat sipil yang tidak mempunyai kepentingan apapun terhadap aksi.
Hal itu menunjukan bahwa semakin rendahnya tingkat kebebasan mengemukakan pendapat di Indonesia khususnya Lampung dan kepolisian sebagai alat negara menjadi institusi yang menjadi catatan tersendiri dengan tindakan yang tidak manusiawi.
Pemerintah selalu menyatakan perlunya ketahanan pangan di masa pandemi Covid-19. Namun, fakta di lapangan justru berbeda dengan program pemerintah. Di mana lahan maupun tanah yang notabene sebagai alat untuk memproduksi ketahanan pangan justru digusur dan beberapa lahan akan digusur oleh pemerintah.
LBH Bandar Lampung mencatat ada beberapa perkara terkait pertanahan dan lingkungan hidup di tahun 2020 ini, diantaranya adalah:
1. Lahan Kota Baru yang dikuasai Polda Lampung, dan dikelola oleh petani penggarap justru digusur dengan alasan pengaman aset. Justru dilahan tersebut tanaman yang digarap berupa singkong dan persawahan belum siap untuk dipanen dan justru meinmbulkan kerugian bagi petani itu sendiri.
2. Lahan/Tanah Sabah Balau, Pemerintah Provinsi Lampung mengklaim tanah seluas + 5 ha dan meminta masyarakat untuk mengosongkan lahan tersebut.
3. Lahan/Tanah di Desa Ketosari Lampung Selatan, bahwa masyarakat didatangi oleh oknum TNI yang mengklaim lahan milik masyarakat Desa Ketosari.
4. Pencemaran Lingkungan yang dilakukan oleh PT PAM, perusahaan yang bergerak dibidang peternakan sapi di Kecamatan Terbanggi Subing.
5. Penutupan akses jalan menuju lokasi pengasinan ikan di Lempasing, Desa Sukamaju Pesawaran oleh perusahaan PT Sarana Mitra Beton. Hal tersebut membuat aktivitas perajinan ikan asin tidak dapat menjalankan aktivitas seperti biasanya. Penutupan akses jalan itu juga melibatkan beberapa oknum TNI.
Pemerintah tidak serius dalam menangani pencegahan dan penyebaran Covid-19, dan justru semakin membuat masyarakat menjadi lebih susah.
Sebagaimana yang telah diuraikan pada perkara tersebut di atas, akibatnya adalah cendrung dan berpotensi adanya pelanggran HAM yang dilakukan oleh negara dengan tidak terpenuhinya hak tersebut dan adanya pembiaran yang dilakukan oleh negara. Semakin berlarutnya upaya penyelesaian terhadap permasalahan pertanahan dan lingkungan hidup, sehingga bertambahnya beban dan ketahanan hidup masyarakat yang juga sedang menghadapi pandemi Covid-19.
(Peringatan Hari HAM Internasional, 10 Desember 2020)