Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Siang menjelang sore menjenguk seorang staf senior di lembaga ini di salah satu rumah sakit. Bersangkutan ditengarai mengidap penyakit yang disebabkan oleh nyamuk; dan hal seperti itu saat ini tampaknya sedang menggejala di kota ini. Ditemani seorang kepala unit yang tampan dan menjadi salah satu unsur pimpinan di rumah sakit itu, kami berdua bergegas ke ruangan pasien di lantai tiga.
Sohib yang sakit itu berkarakter pendiam, tetapi tidak kehilangan sikap cerianya; beliau memohon doa kepada kami berdua. Tentu dengan sangat senang hati kami berdua mendoakan beliau agar cepat sembuh; sekalipun sembuh dan sakit itu hanya dipisahkan oleh pembatas yang sangat tipis, tetapi Tuhan memang memerintahkan untuk menjenguk dan mendoakan orang sakit, bahkan itu merupakan tuntunan keilahian.
Saat kami berdua undur diri untuk kembali, dan agar tidak mengganggu pasien yang sedang menggunakan alat angkut otomatis; kami putuskan menggunakan tangga manual. Saat itulah terbersit dalam angan bagaimana berharganya sehat dan betapa menderitanya jika sakit; namun keduanya sebagai pasangan, kita tidak bisa menolaknya jika datang dan tidak bisa menahannya jika pergi. Ternyata semua kita mengejar harap agar selalu sehat terus sepanjang masa, tetapi tidak pernah bersiap jika sakit itu datang.
Kesadaran pemimpin pada waktu itu membuat suatu sistem asuransi kesehatan bersama secara nasional. Hal itu tentu sangat membantu bagi kita yang ada pada posisi rentan secara ekonomi. Namun sayangnya niat baik dan mulia itu dikotori oleh mereka-mereka yang serakah; sehingga dana milyaran rupiah dikorupsi atas nama kepentingan pribadi. Dari peristiwa itu membuat luka pada hati masyarakat; akibatnya banyak diantara kita mengejar harap untuk selalu sehat, sekalipun sangat menyadari sakit itu pada waktunya akan datang.
Makna filosofi dari “mengejar harap” dapat ditafsirkan dengan mendalam sebagai suatu bentuk perjalanan batin dan laku hidup untuk meraih sesuatu yang belum pasti, namun diyakini memberikan makna dan tujuan. Berikut adalah beberapa sudut pandang filosofisnya:
“Harap” atau harapan bisa dimaknai sebagai cahaya kecil di ujung lorong kehidupan. Mengejarnya adalah upaya manusia untuk terus berjalan meski dalam gelap, percaya bahwa di ujung sana ada sesuatu yang lebih baik. Konsekuensinya kita harus selalu optimisme dan memiliki keteguhan hati dalam menghadapi ketidakpastian, dan hidup tak berhenti pada kesulitan saat ini.
Mengejar Harap sama halnya dengan merawat asa, maksudnya mengejar harap bukan sekadar usaha aktif, tetapi juga proses batin untuk merawat asa agar tetap menyala. Harapan itu rapuh, namun jika dirawat, bisa jadi kekuatan besar; oleh karena itu dia merupakan perjuangan spiritual dan emosional; sekaligus dalam benyak diperlukan kesabaran, ketekunan, dan keyakinan.
Pada filsafat eksistensial, harapan bisa menjadi simbol dari sesuatu yang tak terjangkau sepenuhnya—sebuah ideal. Mengejarnya bukan berarti selalu harus sampai, tapi proses mengejar itulah yang membentuk eksistensi. Oleh karena itu nilai hidup bukan di hasil akhir, tapi dalam prosesnya; dan harapan selalu memberi arah, bukan jaminan.
Secara antropologis dan teologis, manusia didefinisikan sebagai makhluk yang terus mengharap—karena menyadari keterbatasan dirinya. Harapan itu yang membedakan manusia dari sekadar makhluk biologis. Oleh karenanya harapan adalah bagian dari kodrat manusia. Sedangkan mengejarnya adalah merupakan bentuk keberanian untuk terus hidup.
Tidak salah jika orang bijak mengatakan “teman sejatimu itu adalah yang datang tanpa diminta saat kau dalam kesulitan, dan diam-diam dia pergi saat kau dalam kegembiraan”. Sayangnya karena ego sering menutupi kita, sehingga seolah semua itu hasil dari kita sendiri dalam berjuang menghadapi gelombang. Padahal kalau kita mau jujur tidak ada satupun kesuksesan yang kita raih di dunia ini murni hasil kita sendiri; pasti di sana ada orang lain yang ikut berperan dalam mencapainya.
Salam Waras (R-1)
Recent Comments