PORTALLNEWS.ID – LBH Bandar Lampung menyatakan penundaan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak adalah hal yang paling tepat ditengah situasi Pandemi Covid-19 yang terus meningkat di Indonesia.
Jika tidak, maka negara berpotensi melanggar hak Azazi manusia, yaitu hak hidup, hak sehat, dan hak rasa aman yang seharusnya dijamin oleh negara.
Direktur LBH Bandar Lampung, Chandra Muliawan, S.H.,M.H.,C.L.A menyarankan agar penyelenggaran pemilu di Provinsi Lampung dan daerah lain untuk menyampaikan pengusulan penundaan Pilkada kepada pemerintah pusat.
“Hal ini sangat dibutuhkan dalam mengambil keputusan untuk mementingkan hidup masyarakat daripada mementingkan kepentingan partai politik, kontestan dan pihak terkait dalam Pilkada,” ujar Chandra dalam rilisnya kepada portallnews.id, Rabu (16/9/2020).
Jika Pilkada tetap dilaksanakan, lanjut Chandra, maka hak asasi manusia dipertaruhkan yaitu hak atas hidup, hak atas sehat, dan hak rasa aman yang tidak dijamin oleh negara.
Chandra memaparkan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 di 70 daerah, meliputi 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota.
Namun, saat bersamaan, kurva Pandemi Covid-19 di Indonesia terus mengalami lonjakan. Per 15 September 2020 Gugus Tugas menyebutkan sebanyak 3.507 kasus baru dengan total keseluruhan 225.030 kasus positif.
Di Lampung sendiri mengalami lonjakan yang begitu tajam dari hari ke hari. Per 15 September bertambah 39 kasus baru sehingga total 654 kasus positif.
“Kondisi ini sangat rentan untuk dilaksanakan Pilkada serentak, meskipun berbagai himbauan untuk menjalankan protokol kesehatan secara sudah dilakukan, tapi faktanya di lapangan masih banyak yang kurang memperhatikan dan melaksanakannya,” kata Chandra.
Menurut dia, pembatasan jumlah peserta pilkada yang hadir dalam kegiatan kampanye pun tak menjamin protokol kesehatan dipatuhi.
Hal itu berkaca pada kerumunan massa yang melakukan arak-arakan terjadi pada tahapan pendaftaran pencalonan, padahal KPU sudah mengatur pembatasannya dan imbauan massa tidak melakukan konvoi.
Covid-19 Bencana Nonalam
Lebih lanjut, Chandra menjelaskan, secara hukum ada beberapa aturan hukum yang membahas tentang penundaan Pilkada, yaitu di dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2020, pada Pasal 120 ayat (1) menyatakan bahwa
“Dalam hal pada Sebagian wilayah pemilihan, seluruh wilayah pemilihan, sebagai besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagaian tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilihan lanjutan atau pemilihan serentak lanjutan”.
Pasal ini menjelaskan jika ada bencana nonalam mengakibatkan tahapan pilkada tidak dapat lanjut dilaksanakan, maka penundaan bisa dilakukan.
Frasa dari isi pasal 120 yaitu “bencana nonalam” penambahan ini sangat esensial karena pandemi Covid-19 ini sudah dinyatakan sebagai bencana nonalam berdasarkan keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.
Kemandirian KPU Terkebiri
Namun permasalahan selanjutnya adalah penetapan penundaan pilkada yang harus disetujui antara KPU, pemerintah dan DPR sebagaimana dalam Pasal 122A UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 tahun 2020 yang menyatakan bahwa:
1) Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12O dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan.
2) Penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut Chandra, hal tersebut menjadi kemunduran bagi kemandirian KPU sebagai penyelenggara pemilihan. Padahal, dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada, penetapan pilkada dalam skala lokal menjadi kewenangan KPU daerah.
Namun, sebelum Surat Keputusan dikeluarkan oleh KPU, dasarnya harus persetujuan bertiga antara Pemerintah dan DPR yang menyebabkan kewenangan penyelenggara pemilu terkunci.
“Hal ini merupakan suatu kemunduran dari sifat kemandirian KPU,” ujar Chandra.
Fase Pilkada Rentan Jadi Klaster Baru
Dia mengatakan, saat ini KPU telah menetapkan pendaftaran bakal calon kepala daerah pada tanggal 4-6 September 2020, tahapan kampanyekan dimulai pada 26 September hingga 5 Desember sebanyak 71 hari.
KPU membagi masa kampanye calon kepala daerah ini dengan tiga fase, yaitu :
Fase Pertama, yakni kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dialog, penyebaran bahan kampanye kepada umum pemasangan alat peraga dan/atau kegiatan lain.
Fase Kedua, KPU akan menggelar debat public/terbuka antar pasangan calon Sebagian bagian dari kampanye calon kepala daerah.
Fase Ketiga, KPU akan membuka kampanye calon kepala daerah melalui media massa, cetak, dan elektronik.
“Ketiga tahapan ini berpotensi menimbulkan klaster baru Covid-19 dalam Pilkada 2020. Dengan belum terkendalinya penyebaran Covid-19 bahkan jauh dari kata berakhir hingga saat ini, maka penundaan tahapan pilkada hal yang paling tepat,” tutur Chandra.
Langgar Hak Azazi Manusia
Dia menegaskan, apabila tahapan pilkada tetap dilanjutkan dan potensi meningkatnya kasus Covid-19 semakin tidak terkendali atau menjadi kluster Pilkada, maka ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yakni :
1. Hak untuk hidup, yang dijaminkan dalam Pasal 28A UUD 1945, Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Polik (Diratifikasi dengan UU Nomor 12 Tahun 2005).
2. Hak atas kesehatan, yang pengaturan jaminannya ditetapkan dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 12 ayat (1) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005), dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Hak atas rasa aman, menekankan kewajiban negara atau pemerintah untuk memberikan jaminan atas perlindungan diri, kehormatan, martabat, dan hak milik. Kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, Pasal 29 dan Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.